JAKARTA, KOMPAS.TV- Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta W Kamdani, mengingatkan pemerintah Indonesia untuk mewaspadai banjir impor produk China.
Pasalnya, Negeri Tirai Bambu itu kini tengah mengalami perlambatan ekonomi.
Produksi industri manufaktur di China tidak bisa terserap oleh pasar lokal, karena daya beli masyarakatnya menurun. Sehingga bisa saja China mengekspor produk-produk itu ke luar dengan harga yang lebih murah.
”Dalam kondisi itu, China bisa saja menerapkan dumping atau menjual barang ke luar negeri dengan harga lebih murah dibandingkan dengan di dalam negeri,” kata Shinta seperti dikutip dari Kompas.id, Minggu (18/2/2024).
Baca Juga: Dubes China Temui Prabowo di Kertanegara, Sampaikan Ucapkan Selamat, Kucing Bobby Ikut Mejeng
Turunnya daya beli masyarakat dan pelemahan ekonomi China terlihat dari deflasi yang terjadi pada harga barang dan jasa di tingkat konsumen serta produsen.
Biro Statistik Nasional China mencatat, pada Januari 2024, China mengalami deflasi 0,8 persen secara tahunan. Penurunan Indeks Harga Konsumen (IHK) itu merupakan penurunan terbesar dalam 14 tahun terakhir atau sejak September 2009.
Kemudian harga barang dan jasa di tingkat produsen juga deflasi 2,5 persen secara tahunan. Indeks Harga Produsen (IHP) tersebut masih melanjutkan tren deflasi selama 16 bulan berturut-turut atau sejak Oktober 2022.
Shinta menuturkan, kondisi itu membuat pemerintah China menurunkan harga barang yang akan diekspornya termasuk ke Indonesia. Ia pun mendorong agar strategi, mekanisme, dan kapabilitas penyelidikan serta penegakan antidumping terhadap impor dari China perlu ditingkatkan.
Baca Juga: Imlek 2024 Akan Jadi Rekor untuk China, Diperkirakan 9 Miliar Perjalanan Bakal Terjadi
Shinta menyebut pemerintah dapat bekerja sama dengan asosiasi pengusaha terkait, untuk mendeteksi serta menyelidiki setiap gejala dumping dan predatory pricing di dalam negeri.
Predatory pricing bisa juga disebut praktik jual rugi, karena produsen akan membanderol produk mereka di bawah harga produksi, dengan tujuan mematikan para pesaingnya.
”Perlu ada sanksi dan penegakan hukum yang tegas jika praktik-praktik tersebut terbukti agar tidak merusak pertumbuhan industri nasional dan persaingan usaha yang sehat di dalam negeri,” ujar Shinta.
Saat ini, China masih menjadi negara asal impor terbesar RI dengan kontribusi 37,64 persen dari total nilai impor.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), impor nonmigas RI pada Januari 2024 senilai 15,81 miliar dollar AS, naik 0,48 persen secara bulanan dan 1,76 persen secara tahunan.
Sumber : Kompas.id
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.