JAKARTA, KOMPAS.TV - Di saat pajak hiburan untuk diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa naik jadi 40%-75%, ada sejumlah jenis usaha hiburan lainnya yang pajaknya turun. Pajak Barang Jasa Tertentu (PBJT) atau pajak hiburan untuk 11 jenis usaha ini, turun dari semula maksimal 35% menjadi paling tinggi 10%.
Aturan itu tertuang dalam UU Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD).
Direktur Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Kemenkeu Lydia Kurniawati Christyana mengatakan, penurunan pajak dilakukan untuk menyeragamkan dengan tarif pungutan berbasis konsumsi lainnya seperti makanan dan/atau minuman, tenaga listrik, jasa perhotelan, dan jasa parkir.
"Sebagai bukti komitmen pemerintah mendukung pengembangan pariwisata dan menyelaraskan dengan kondisi perekonomian," kata Lydia dalam media briefing, Selasa (16/1/2024).
Pemerintah juga memberikan pengecualian terkait jasa kesenian dan hiburan untuk promosi budaya tradisional dengan tidak dipungut bayaran.
Baca Juga: Luhut Sebut Pemerintah Mau Tunda Penerapan Pajak Hiburan: Belum Ada Urgensinya
"Hal ini menunjukkan pemerintah berpihak dan mendukung pengembangan pariwisata di daerah," ujarnya.
Ia menerangkan, PBJT atas jasa kesenian dan hiburan bukanlah suatu jenis pajak baru. PBJT sudah ada sejak Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD).
Pada masa itu, objek PBJT atas jasa kesenian dan hiburan telah dipungut dengan nama pajak hiburan.
Mengutip dari Kemenkeu, jenis kesenian dan hiburan yang pajaknya turun jadi 10% adalah:
(i) tontonan film atau bentuk tontonan audio visual lainnya yang dipertontonkan secara langsung di suatu lokasi tertentu; (ii) pergelaran kesenian, musik, tari, dan/atau busana;
Baca Juga: Heru Budi Siap Bahas Lagi Pajak Hiburan di Jakarta dengan DPRD DKI
(iii) kontes kecantikan;
(iv) kontes binaraga;
(v) pameran;
(vi) pertunjukan sirkus, akrobat, dan sulap; (vii) pacuan kuda dan perlombaan kendaraan bermotor;
(viii) permainan ketangkasan;
(ix) olahraga permainan dengan menggunakan tempat/ruang dan/atau peralatan dan perlengkapan untuk olahraga dan kebugaran;
(x) rekreasi wahana air, wahana ekologi, wahana pendidikan, wahana budaya, wahana salju, wahana permainan, pemancingan, agrowisata, dan kebun binatang;
(xi) panti pijat dan pijat refleksi;
Sementara itu, khusus untuk jasa hiburan diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa, dikenakan pajak dengan tarif batas bawah 40% dan batas atas 75%.
Lydia menerangkan, perbedaan besaran tarif pajak itu karena mempertimbangkan bahwa jasa hiburan di atas pada umumnya hanya di konsumsi masyarakat tertentu.
Baca Juga: Jokowi Sebut Akan Ada 8-10 Proyek yang Lakukan Groundbreaking di IKN Setiap Bulan
"Oleh karena itu, perlu penetapan tarif batas bawah atas jenis tersebut guna mencegah penetapan tarif pajak yang race to the bottom atau berlomba-lomba menetapkan tarif pajak rendah guna meningkatkan omset usaha," tuturnya.
Namun, penerapan pajak hiburan 40%-75% itu mendapat banyak protes pengusaha.
Menyikapi hal itu, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan menyatakan pihaknya akan mengupayakan penundaan pajak hiburan.
Luhut mengatakan ia sudah membahas masalah ini dengan instansi terkait.
"Saya sebenarnya sudah mendengar ini sejak beberapa waktu lalu. Sehingga saat itu saya langsung mengambil inisiatif dengan mengumpulkan instansi terkait untuk membahas masalah ini," kata Luhut dalam akun Instagramnya, Rabu (17/1/2024).
Baca Juga: Jokowi Lakukan Siaran Perdana dari Studio RRI di IKN
"Saya berpendapat wacana ini perlu ditunda dulu pelaksanaannya, untuk kami evaluasi bersama apa dampaknya pada rakyat. Terutama mereka para pengusaha kecil," ujarnya.
Ia menyampaikan, industri hiburan bukan hanya berisi karaoke dan diskotik saja. Ada banyak pekerja yang sumber penghasilannya bergantung pada para penyedia jasa hiburan baik skala kecil sampai menengah.
"Atas dasar itulah, saya merasa belum ada urgensi untuk menaikkan pajak ini," ujarnya.
Ia menerangkan, aturan pajak hiburan yang ditetapkan dalam UU Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD) tidak muncul begitu saja. Melainkan atas pembahasan bersama pemerintah dengan Komisi XI DPR.
Saat ini, UU tersebut tengah diuji materi di Mahkamah Konstitusi. Juducial review itu juga akan jadi bahan pertimbangan pemerintah dalam penerapan pajak hiburan.
Baca Juga: PLN Segera Resmikan Stasiun Pengisian Hidrogen di Senayan, Diklaim Lebih Irit dari BBM dan Listrik
"Ada judicial review ke Mahkamah Konstitusi, saya pikir itu harus kita pertimbangkan karena keberpihakan kita ke rakyat kecil, karena itu banyak menyangkut pada pedagang-pedagang kecil juga," tuturnya.
Luhut pun menegaskan bahwa dirinya sangat mendukung pengembangan pariwisata di daerah. Oleh karena itu, ia tak ingin kenaikan pajak membebani pelaku usaha, terlebih mereka yang terlibat dan merasakan dampaknya.
"Jadi hiburan itu jangan hanya dilihat diskotek. Bukan, ini banyak, sekali lagi impact (dampak) pada yang lain, orang yang menyiapkan makanan, jualan dan yang lain sebagainya. Saya kira, saya sangat pro dengan itu dan saya tidak melihat alasan untuk kita menaikkan pajak dari situ," ucapnya.
Sumber :
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.