Setelah revisi diteken Zulhas, proses selanjutnya adalah masuk dalam proses dijadikan pengundangan di Kementerian Hukum dan HAM. Tapi proses itu butuh waktu dan diperkirakan baru bisa selesai akhir bulan ini.
"Ya kita tunggu, pengundangan kan enggak bisa di ini (buru-buru). Mudah-mudahan, kan September ini belum berakhir," ujar Isy seperti dikutip dari Antara.
Desakan revisi beleid tersebut datang dari sejumlah kalangan, seperti pelaku UMKM dan pengusaha ritel. Ketua Umum Aprindo Roy Nicholas Mandey mengatakan, aturan baru itu akan membantu menciptakan persaingan bisnis yang setara. Baik untuk online maupun offline.
Baca Juga: Duet Maut Judi Online-Pinjol, Lingkaran Setan yang Bikin Kriminalitas Meningkat
"Kita setuju revisi Permendag harus cepat karena Permendag dulu belum ada istilah social commerce, sekarang sudah ada social commerce dan seharusnya perdagangan elektronik itu harus ada playing field," ucap Roy di Jakarta seperti dikutip dari Kompas.com, Rabu (20/9).
Ia menjelaskan ada 3 poin yang dinantikan peritel ada dalam revisi beleid tersebut, yang bisa memperbaiki kondisi persaingan usaha bisnis online saat ini.
Pertama adalah soal larangan penjualan produk impor di bawah 100 dollar atau Rp1,5 juta. Ia menyebut poin tersebut harus ada dalam revisi. Jika hal itu tidak dilarang, masyarakat dari menengah ke bawah akan ramai-ramai belanja produk impor murah di bawah 100 dollar AS. Sementara masyarakat menegah ke atas pasti akan belanja di atas 100 dollar AS.
Kemudian, soal larangan predatory pricing. Predatory Pricing adalah penetapan harga yang sangat murah untuk barang-barang yang dijual di TikTok Shop. Harganya bisa murah karena penjual mendapat subsidi dari pihak TikTok.
Baca Juga: OJK Blokir Rekening Judi Online Setelah Disurati Kominfo, INDEF: Seharusnya dari Dulu
"Yang terjadi sekarang dilematisnya adalah itu disubsidi TikTok barangnya. Jadi affiliate dari luar disubsidi sehingga murah. Minyak wangi Rp 1.000, jam tangan Rp 5.000, karena disubsidi platformnya. Ada subsisi dari platformnya," ujarnya.
Selanjutnya, revisi aturan itu juga harus ada soal perlindungan konsumen. Roy bilang, jika konsumen mendapat barang palsu saat berbelanja secara offline, mereka bisa langsung meminta ganti rugi. Tapi hal itu sulit dilakukan jika konsumen diberi barang palsu saat berbelanja online.
"Makanya ini kita minta diatur. Jadi kita mendesak dan berharap biar bisa direalisaiskan aturan ini," ujarnya.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.