JAKARTA, KOMPAS.TV- Juru Bicara Kementerian Perindustrian (Jubir Kemenperin) Febri Hendri Antoni Arif menyampaikan, masyarakat sebaiknya melihat hilirisasi dari nilai tambah ekonominya. Bukan fokus pada kepemilikan atau ownership smelter nikelnya.
Ia mengatakan, multiplier effect dari hilirisasi nikel dan sumber daya alam lainnya sudah mulai terlihat pada ekonomi nasional.
“Hilirisasi jangan dilihat dari ownersip smelter, baik itu PMA (Penanaman Modal Asing) atau PMDN (Penanaman Modal Dalam Negeri)," kata Febri dalam keterangan tertulisnya, Minggu (13/8/2023).
"Tetapi lebih ke arah pendekatan nilai tambah ekonomi, sehingga benefit (manfaat) yang dirasakan dengan berjalannya hilirisasi memberikan nilai nyata bagi pembangunan nasional,” tambahnya.
Ia lalu menjabarkan data yang ada di Kemenperin. Saat ini ada 34 smelter yang sudah beroperasi dan 17 smelter yang sedang dalam konstruksi.
Baca Juga: Stasus Sri Mulyani Jawab Kritikan Faisal Basri Soal Hilirisasi Nikel Untungkan China: Anda Keliru
Investasi yang telah tertanam di Indonesia sebesar 11 miliar dolar AS atau sekitar Rp165 triliun untuk smelter Pyrometalurgi, serta sebesar 2,8 miliar dolar AS atau mendekati Rp40 triliun untuk tiga smelter Hydrometalurgi yang akan memproduksi MHP (Mix Hydro Precipitate) sebagai bahan baku baterai.
Dalam proses pembangunannya, smelter menyerap produk lokal. Dari puluhan smelter itu, sudah ada 120.000 orang tenaga kerja. Sementara dari lokasi, smelter tersebar di berbagai provinsi yaitu Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Maluku Utara, serta Banten.
“Hal ini mendorong pertumbuhan perekonomian di daerah tersebut dengan meningkatnya PDRB di daerah lokasi smelter berada,” ujarnya.
Dari sisi nilai tambahnya, nilai tambah yang dihasilkan dari nikel ore hingga produk hilir meningkat berkali-kali lipat jika diproses di dalam negeri atau menghilirkan proses barang mentah.
Perhitungannya, jika nilai nikel ore mentah dihargai 30 dolar AS per ton, ketika menjadi nikel pig iron (NPI) harganya akan naik 3,3 kali mencapai 90 dolar AS per. Sedangkan bila menjadi Ferronikel, akan naik 6,76 kali atau setara 203 dolar AS per ton.
Baca Juga: Kasus Mahasiswa UIN Raden Mas Surakarta Dipaksa Daftar Pinjol, Begini Penanganan OJK
Jika produk itu kembali diolah menjadi nikel matte, maka nilai tambahnya juga akan naik menjadi 43,9 kali atau 3.117 dolar AS per ton. Apalagi Indonesia sudah punya smelter yang menjadikan nikel sebagai bahan baku baterai dengan nilai tambah sekitar 120,94 kali (3.628 per ton).
“Apalagi, jika ada ada pabrik baterai yang mengubah ore menjadi LiNiMnCo, maka nilai tambahnya bisa mencapai 642 kali lipat,” ungkapnya.
Dengan naiknya nilai tambah hasil olahan nikel itu, pemasukan negara dari Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan pajak-pajak lainnya akan bertambah. Karena nilai objek pajaknya juga bertambah.
“Dari sini saja sudah terbukti, seperti yang disampaikan oleh Bapak Presiden, jika kita mengekspor bahan mentah, angkanya Rp17 triliun, dibandingkan dengan ekspor produk hasil hilirisasi nikel yang mencapai Rp510 triliun. Sehingga penerimaan negara dari pajak akan jauh lebih meningkat,” tuturnya.
Sumber :
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.