JAKARTA, KOMPAS.TV – Nama lengkapnya Abdul Karim Amrullah Datuk Indomo atau lebih dikenal dengan nama Buya Hamka. Sosok multidimensi yang abadi dengan karya, keulamaan dan jejak pengaruhnya bagi perkembangan modernisasi Islam di Indonesia.
Sejarah mencatat, Buya Hamka adalah orang yang menjadi imam salat jenazah ketika Bung Karno wafat pada 21 Juni 1970.
Padahal, Bung Karno dan Buya Hamka sempat berselisih paham begitu keras hingga mengakibatkan Buya Hamka dipenjara Pada 1962. Ini lantaran kiprah politiknya di Masyumi dan dituduh ikut pemberontakan PRRI.
Rusydi Hamka, putra Buya Hamka, mengisahkan dalam memoar Pribadi dan Martabat Buya Hamka (2020) bagaimana ayahnya dihormati oleh Bung Karno.
Bahkan, dikisahkan ia tidak menaruh dendam sama sekali meskipun ayahnya dijebloskan ke penjara oleh Bung Karno karena beda politik. Termasuk ketika efek itu membuat hidupnya jadi susah, mata pencahariannya hilang dan dilucuti segala hak sosial-politiknya, Buya memaafkannnya.
“Wasiat Bung Karno diminta mengimami salat jenazah Bung Karno bila kelak meninggal. Dan, permintaan itu pun dipenuhi ayah tanpa banyak bertanya. Bahkan, ketika mendengar Bung Karno wafat, segera berangkat ke Wisma Yaso untuk bertakziah,” tulisnya.
Sepanjang hidupnya, sosok Buya Hamka menjadi abadi dalam sejarah dan benak bangsa Indonesia sebagai ulama, sastrawan, jurnalis, mubaligh, ahli tafsir dan pengayom umat.
Baca Juga: KH Zainul Arifin Pohan, Ulama Pelindung Bung Karno yang Ditembak waktu Salat
Buya Hamka lahir di Tanah Sirah, Sumatera Barat, pada 17 Februari 1908. Hamka merupakan nama pena, singkatan dari Haji Abdul Malik Karim Amrullah.
Hamka berasal dari keluarga ulama. Ayahnya adalah Abdul Karim Amrullah atau biasa dipanggil Haji Rasul, pembaru Islam di Minangkabau. Sedari kecil, ia sudah dididik agama.
Pada 1915, Hamka masuk ke Sekolah Desa, di mana ia belajar pengetahuan umum. Sementara pada sore harinya, ia ikut pendidikan agama di Diniyah School, yang dirintis oleh Zainuddin Labay El Yunusy.
Pada 1918, Hamka berhenti dari Sekolah Desa dan masuk ke Thawalib atau organisasi Islam paling awal di Indonesia dan berpengaruh di Sumatera. Dikisahkan, Hamka gemar ke perpustakaan yang dikelola gurunya, Afiq Amon, dari situ pula ketertarikan Hamka untuk berjejalah bermula.
Lantas, ia pun melangkahkan kaki ke Pulau Jawa Pada 1924. Di sinilah, kisahnya dan petualangannya sebagai ulama dan jurnalis bermula.
Di Jawa, ia tinggal di Yogyakarta bersama pamannya, Amrullah Ja'far, yang mengenalkannya pada gerakan Islam seperti Muhammadiyah dan Sarekat Islam.
Hamka juga berguru pada banyak tokoh dan ulama berpengaruh seperti Bagoes Hadikoesoemo, Tjokroaminoto, Abdul Rozak Fachruddin, dan Suryopranoto, serta di Bandung dan bertemu dengan tokoh-tokoh Masyumi, seperti Ahmad Hassan dan Mohammad Natsir.
Pada 1927, untuk memperluas pengetahuan agamanya dan mendalami bahasa Arab, sekaligus beribadah haji. Ia juga bertemu dengan Agus Salim, seorang ulama dan tokoh Indonesia yang memintanya untuk kembali ke tanah air.
Ketika masa revolusi berkecamuk, Buya Hamka, juga ikut menjadi ‘api’ dalam pergerakan dengan khutbah-khutbahnya. Ia digambarkan sebagai seorang jurnalis yang ikut bergerilya, sebagai penghubung ulama-pejuang.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.