"Jadi, awalnya itu dari buka bersama para warga Banjar dulu. Sejak jadi menu buka puasa pada 1985, (bubur Samin) banyak yang suka dan meminta," ujar Rosyidi.
"Awalnya tidak banyak membuatnya (bubur Samin untuk dibagikan), hanya 15 kilogram. Mulanya, untuk jemaah masjid lalu sisanya dibagikan ke masyarakat." imbuhnya.
Namun, lambat laun semakin banyak masyarakat minat dengan bubur Samin, sehingga pembuatannya sempat mencapai 45 kilogram dalam sehari.
Lebih lanjut, Rosyidi menuturkan, kehadiran bubur Samin di Kota Bengawan ini juga menunjukan peran para perantau dari Martapura, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan.
Baca Juga: Tabuh Beduk Blandrangan Sehari Sebelum Ramadan, Apakah Tradisi Peninggalan Sunan Kudus?
"Bubur Samin ini tidak lepas dari para perantau dari Martapura ke Solo. Mereka datang kesini sekitar tahun 1890-an," ungkapnya.
Hal tersebut pun dibenarkan oleh Ketua Jayengan Kampung Permata Yusuf Akhmad Al Khatiri, yang menyebutkan bahwa banyak orang Banjar datang ke Kota Solo pada waktu itu.
Tujuannya, untuk membuat perhiasan dengan batu permata, atas permintaan dan undangan dari pihak Keraton Kasunanan Surakarta.
"Raja mengundang pemuda Martapura (Banjar), mungkin lima atau sepuluh orang. Mereka bermukim di sini untuk mengerjakan perhiasan itu," terang Yusuf.
"Butuh waktu sampai tiga bulan untuk mengerjakan itu, sehingga mereka tidak sempat pulang. Kemudian dapat jodoh orang sini (Solo), laki-lakinya orang Banjar, istrinya Jawa," sambungnya.
Dari para keturunan Banjar dan Jawa ini lah lantas mengakarnya tradisi pembuatan bubur Samin sebagai sajian khas Ramadan di Kota Solo, khususnya kawasan Jayengan.
Sumber : Tribun Solo
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.