Berdasarkan data dari Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), dalam 7 tahun terakhir daya serap tenaga kerja terus mengalami penurunan. Pada 2013, Rp 1 triliun investasi bisa menyerap sebanyak 4.594 tenaga kerja. Sementara pada 2021, Rp 1 triliun investasi hanya menyerap 1.340 tenaga kerja.
Baca Juga: Ternyata Ini Biang Kerok Badai PHK Startup: Bunga Acuan, Inflasi, dan Perang Rusia-Ukraina
Kemudian, pencari kerja dengan keterampilan rendah lulusan SD hingga SMA akan semakin tersisih dalam memperebutkan pekerjaan dari sektor usaha formal yang memiliki kepastian pendapatan.
Semua hal itu membuat perusahaan akan lebih bersedia mempekerjakan tenaga kerja dengan pendidikan yang lebih tinggi dan bersedia dibayar dengan UMP atau UMK.
"Ini menyebabkan pencari kerja dengan keterampilan rendah lulusan SD-SMP-SMA semakin sulit untuk mendapatkan pekerjaan," ucapnya.
Banyaknya pengangguran, lanjut Hariyadi, membuat bantuan sosial untuk masyarakat marjinal semakin membebani anggaran pemerintah yang menghambat pembangunan.
"Semakin merosotnya daya serap tenaga kerja di sektor formal dibandingkan meningkatnya jumlah penduduk berdampak pada menurunnya pendapatan masyarakat sehingga tidak mampu mencukupi kebutuhan gizinya," tuturnya seperti dikutip dari Antara.
Baca Juga: Pajak Karyawan Naik Saat PHK Massal Terjadi, Sri Mulyani: Ini Sangat Kikuk
Menurut dia, untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi 2023, Pemerintah dinilai perlu konsisten dalam menjalankan sejumlah agenda reformasi ekonomi struktural sebagaimana tercermin dalam substansi UU Cipta Kerja.
"Berbagai masalah inkonsistensi kebijakan mutlak perlu ditindaklanjuti dengan cepat. Kebijakan populis yang menghancurkan reformasi struktural jangka menengah-panjang harus dikoreksi," ujar Haryadi.
Selain itu, dukungan kelembagaan harus dijalankan secara efektif dan efisien untuk menjaga momentum pemulihan di tengah ancaman resesi global.
Sumber : Kompas.com, Antara
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.