JAKARTA, KOMPAS.TV - Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setyawan mengkhawatirkan tindakan Pertamina yang melakukan pembatasan pada bahan bakar minyak (BBM) subsidi khususnya Pertalite.
Mamit beralasan Pertamina belum memiliki dasar hukum yang jelas dalam tindakan pengawasan ketat terkait pembatasan BBM bersubsidi. Berbeda dengan Solar yang sudah diatur dalam Perpres Nomor 191 Tahun 2014.
"Ini yang saya khawatirkan, Pertamina bergerak belum ada dasar hukumnya, belum ada satu perundang-undangan atau aturan Pertalite belum dibatasi seperti Solar dalam Perpres Nomor 191 Tahun 2014," tuturnya dalam Sapa Indonesia Malam, Kompas TV, Minggu (11/9/2022).
Mamit melanjutkan imbas dari arahan pembatasan tersebut bisa menimbulkan konfik antar petugas di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) dan konsumen.
"Saya agak khawatir jangan sampai nanti ada konflik di lapangan antara petugas dengan konsumen ketika ada pembatasan konsumsi Pertalite 120 liter per hari," tuturnya.
Baca Juga: Tak Dapat Subsidi, Tarif Sebagian Besar Angkot di DKI Jakarta akan Naik Rp1.000, Susul Kenaikan BBM
Mamit juga menunggu ketegasan pemerintah terutama Presiden untuk melakukan revisi Perpres Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak.
Jadi Pertamina sebenarnya juga tak bisa melakukan penindakan atau melaporkan jika ada penyelewengan dari BBM subsidi.
"Sampai sejauh ini saya belum melihat (pemerintah) sampai ke arah sana (pengawasan ketat pada Pertalite). Saya masih menunggu revisi Perpres Nomor 191 Tahun 2014. Terkait dengan pengawasan ataupun pembatasan Pertalite bagi masyarakat umum," ujarnya.
Kepada Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi atau BPH Migas, Mamit mengimbau badan tersebut juga melakukan kerja sama atau memorandum of understanding pada pihak TNI terutama Angkatan Laut.
"Saya kira (BPH Migas) juga harus melakukan MoU dengan TNI. Terutama untuk teman-teman di Angkatan Laut yang memang itu justru wilayah rentan dan rawan penyelewengan," ujarnya.
Baca Juga: Bongkar Penimbunan 84 Ribu Liter Pertalite & Solar di Jawa Timur, Kerugian Negara Capai Rp16 Miliar!
BPH Migas juga diharap melakukan penambahan personel agar pengawasan terkait BBM bisa menyasar daerah-daerah.
"Saat ini kuncinya ada di BPH Migas, tulang punggung dari pengawas ini. Pertamina kan hanya badan usaha yang diberikan penugasan oleh pemerintah," lanjutnya.
Anggota Komite BPH Migas Saleh Abdurrahman mengatakan pihaknya memiliki tiga skema yang dilakukan dalam pengawasan BBM.
Pertama adalah pengawasan rutin yang tiap bulan melakukan komunikasi atau rapat dengan badan usaha.
"Kedua, kalau ada masalah dalam pengawasan rutin, bisa sebagian tidak dibayar, tidak diterapkan sebagai Jenis BBM Tertentu (JBT) yang disubsidi, kami juga melakukan pengawasan di lapangan dalam beberapa daerah yang berpotensi terjadinya penyalahgunaan," jelas Saleh.
Baca Juga: Harga Pertamax Sudah Naik Jadi Rp14.500, Kok Bisa Pertamina Sebut Masih Merugi?
Ketiga, melakukan koordinasi dengan aparat penegak hukum atau APH.
"Kami sudah melakukan perjanjian kerja sama, dengan Polri. Tiap bulan kami juga memberikan keterangan ahli kepada kepolisian RI terhadap temuan di lapangan," lanjut Saleh.
Diberitakan sebelumnya BPH Migas mengatakan pihaknya akan membuat aturan tentang kriteria kendaraan yang boleh mengisi Pertalite agar penyaluran tepat sasaran.
"Mobil-mobil di atas 2.000 cc, 1.500 cc masih bisa mengonsumsi Pertalite, yang menurut kita produsen-produsen mobil ini direkomendasikan untuk menggunakan RON yang lebih bagus," tuturnya dalam diskusi bertajuk "Pasca-Kenaikan Harga BBM, Bagaimana Sistem Pengawasan Agar Tidak Menguap Lagi", Jumat (9/9/2022).
Presiden Joko Widodo dalam pernaytaannya beralasan pemerintah memutuskan menaikkan harga BBM, karena menurut data yang dimiliki 70 persen subsidi justru dinikmati oleh kelompok masyarakat mampu.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.