JAKARTA, KOMPAS.TV – Bank Indonesia (BI) siap menyesuaikan suku bunga acuan jika inflasi inti terus meningkat. Jika sampai akhir tahun kenaikan suku bunga The Federal Reserve (The Fed) terus berlanjut, patut diwaspadai karena menambah ketidakpastian pasar keuangan dan memicu resesi global.
“Kebijakan moneter BI tahun ini akan lebih mengedepankan stabilitas (pro stability). Sementara, bauran kebijakan BI lainnya untuk mendorong pemulihan ekonomi (pro growth),” kata Deputi Gubernur BI Yuda Agung pada acara Central Bank Policy Mix for Stability and Economic Recovery di Bali, Rabu (13/7/2022).
Bauran kebijakan itu terdiri dari pengaturan kebijakan makroprudensial, sistem pembayaran, pengembangan pasar uang, dan penciptaan keuangan inklusif dan hijau. Saat ini, BI masih mempertahankan tingkat suku bunga acuan sebesar 3,5 persen.
Seperti diketahui, badan statistik AS mencatat, inflasi AS pada Juni 2022 sebesar 9,1 persen secara tahunan. Inflasi tahunan tertinggi di AS sejak 1981 ini berpotensi mendorong bank sentral AS, The Fed, semakin agresif menaikkan suku bunga acuannya.
Sepanjang tahun ini saja, The Fed sudah menaikkan suku bunganya sebanyak 150 basis poin ke level 1,5-1,75 persen.
Baca Juga: Inflasi AS Tertinggi dalam 40 Tahun, Sinyal Kenaikan Suku Bunga The Fed Kian Kuat
Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Yusuf Rendy Manilet menuturkan, kenaikan inflasi di AS akan disusul oleh agresivitas kenaikan suku bunga acuan untuk menjaga peredaran dolar AS agar lebih stabil.
Jika sampai akhir tahun kenaikan suku bunga The Fed terus berlanjut, stabilitas pasar keuangan negara berkembang akan terganggu oleh aliran modal keluar.
“Di pasar keuangan, kebijakan itu dapat memicu terjadinya capital outflow yang disebabkan oleh melebarnya kesenjangan antara suku bunga domestik dan suku bunga internasional," ujar Yusuf, dikutip dari Kompas.id pada Jumat (15/7/2022).
"Dana dari emerging market akan berpindah ke AS sehingga akan memberikan dampak terhadap pelemahan nilai tukar.”
Contohnya, pelemahan nilai tukar rupiah sudah terjadi sejak bulan lalu, imbas dari kenaikan suku bunga The Fed.
Pada penutupan perdagangan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) Bank Indonesia (BI), Kamis, rupiah berada di level Rp14.999 per dolar AS.
Baca Juga: BI akan Terbitkan Uang Rupiah Digital, Bagaimana Nasib Uang Tunai?
Adapun di pasar spot, rupiah ditutup di level Rp15.020 per dolar AS.
Kemudian, pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS tersebut akan disusul oleh kenaikan harga-harga di dalam negeri karena 60 persen bahan baku industri masih mengandalkan impor.
Kenaikan harga ini, menurut Yusuf, perlahan akan mengerek level inflasi di dalam negeri. Per Juni 2022, inflasi Indonesia sudah 4,35 persen secara tahunan.
”Inflasi dalam negeri yang tinggi membuat peluang BI menaikkan suku bunga acuan lebih cepat makin terbuka. Namun, di sisi lain, kenaikan suku bunga acuan bisa mengganggu proses pemulihan ekonomi yang tengah berlangsung,” katanya.
Sementara itu, Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio N Kacaribu mengatakan, inflasi sebesar 4,35 persen pada Juni 2022 masih tergolong moderat. Hal ini jika dibandingkan negara-negara berkembang lain di periode yang sama seperti Thailand (7,66 persen) dan Filipina (6,1 persen).
Meski begitu, pemerintah akan terus memantau dan memitigasi berbagai faktor yang akan berpengaruh pada inflasi nasional, baik yang berasal dari eksternal maupun domestik.
Baca Juga: Inflasi AS Tertinggi dalam 40 Tahun, Sinyal Kenaikan Suku Bunga The Fed Kian Kuat
Dari sisi eksternal, pemerintah memantau dampak kenaikan suku bunga The Fed terhadap kinerja ekspor-impor.
Hingga Mei 2022, neraca perdagangan Indonesia masih mencatatkan kinerja positif dengan mencatatkan surplus 2,9 miliar dolar AS.
”Kondisi saat ini, dari sisi ketahanan eksternal Indonesia juga masih cukup baik. Surplus neraca dagang berlanjut selama 25 bulan beruntun pada Mei 2022 sehingga transaksi berjalan juga masih berkinerja baik,” sebutnya.
Sementara dari sisi internal, untuk menahan laju inflasi, berbagai upaya menjaga stabilisasi harga pangan nasional telah ditempuh oleh pemerintah, di antaranya melalui pemberian insentif selisih harga minyak goreng dan mempertahankan harga jual energi.
”Ini semua diharapkan dapat menjaga kecukupan pasokan, kelancaran distribusi, dan keterjangkauan harga pangan pokok sehingga dapat melindungi daya beli masyarakat, khususnya kelompok berpenghasilan rendah,” tutur Febrio.
Sumber : Kompas TV/Kompas.id
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.