JAKARTA, KOMPAS.TV - Sejumlah harga bahan pokok dan bahan pangan mengalami kenaikan yang signifikan dan bergiliran.
Mulai dari minyak goreng yang juga mengalami kelangkaan, kemudian gula pasir, daging sapi, hingga gas LPG.
Ekonom cum Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudistira menjelaskan, sejumlah faktor yang menjadi alasan mengapa harga bahan pokok mengalami kenaikan.
Baca Juga: Harga CPO Global Naik-Turun, Minyak Goreng RI Terus Meningkat, KPPU: Pasar Migor Indonesia Oligopoli
Menurutnya, kenaikan harga bahan pokok di Indonesia tidak terlepas dari ketergantungan Tanah Air yang selalu mengimpor sejumlah komoditas dari luar negeri.
“Pertama, ada masalah karena kita ketergantungan terhadap barang impornya beberapa komoditas cukup dominan, ini sebentar lagi bawang putih. Bawang putih tu dari Februari ke Januari juga sudah mulai mengalami kenaikan, jagung itu juga sudah naik,” kata Bhima dalam dialog Sapa Pagi Indonesia Kompas TV, Rabu (2/3/2022).
“Jadi memang ketergantungan impor, kedelai 80 persen, bawang putih itu bisa 85 persen lebih, daging sapi juga cukup besar impornya,” sambungnya.
Ketergantungan impor ini membuat Indonesia tidak bisa berkutik ketika negara pengekspor mengalami masalah.
“Salah satu yang terjadi misalnya daging sapi, selain karena ada gangguan di Australia, ada kekeringan di bagian barat Amerika Serikat. Kekeringan ini diperkirakan akan menurunkan populasi sapi, produksinya tergantung,” jelas Bhima.
Baca Juga: Harga Gula Pasir Mulai Ikut-ikutan Naik, Bagaimana Imbasnya?
Ketika negara pengekspor mengalami kenaikan harga, mau tak mau Indonesia yang mengimpor barang tersebut juga ikut menaikkan harga.
Bhima menjelaskan bahwa kenaikan harga bahan pokok ini sebetulnya sudah terjadi sejak pertengahan 2021.
Sayangnya, para pemangku kebijakan tidak melakukan intervensi untuk mengatasi kenaikan harga yang sebenarnya dapat diprediksi ini.
Dia memberikan contoh dengan harga kedelai yang mengalami harga terendah pada November 2021. Pada saat itu, seharusnya pemerintah memborong kedelai dan memenuhi gudang untuk kemudian disalurkan ke pengrajin tempe dengan harga wajar.
Selain itu, Bhima juga mengungkapkan faktor lain, yakni kegagalan Indonesia dalam mengendalikan harga bahan pokok di pasaran, termasuk komoditas yang diproduksi sendiri
Sayangnya, Indonesia lebih memilih untuk menggelontorkan minyak sebagai komoditas ekspor, alih-alih memenuhi pasokan di negara sendiri.
“Tapi, antara ekspor, pilihan mengejar devisa, mengejar surplus perdagangan, dengan ketahanan pangan di dalam negeri, kita lebih condong untuk full ekspor,” tegas Bhima.
Baca Juga: Masih Langkanya Minyak Goreng, Pedagang Terpaksa Naikkan Harga Jual Untuk Hindari Kerugian
Ujung-ujungnya, masyarakat menengah ke bawah yang semakin mengalami kesulitan.
“Ini sangat berat bagi masyarakat, khususnya yang pendapatannya di bawah Rp2 juta per bulannya,” tuturnya.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.