JAKARTA, KOMPAS.TV- Desakan agar pemerintah segera melakukan penguncian wilayah atau lockdown di zona merah Covid-19 datang dari berbagai pihak. Namun, pemerintah masih belum mau melaksanakannya dengan alasan biaya yang dibutuhkan sangat besar.
Pemerintah pun memilih untuk kembali menerapkan penguatan PPKM mikro. Padahal menurut Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, negara sebenarnya mampu membiayai lockdown selama 14 hari. Menurut perhitungannya, total biaya yang diperlukan mencapai Rp25 triliun.
Dana itu diperlukan untuk memenuhi kebutuhan pokok masyarakat yang tidak bisa beraktivitas dan bekerja selama penguncian wilayah.
“Apakah kapasitas APBN bisa menanggung biaya lockdown? Bisa karena kebutuhan lockdown estimasinya Rp11 sampai Rp 25 triliun selama 14 hari,” kata Bhima saat dikonfirmasi Kompas TV, Rabu (23/06/2021).
Baca Juga: DKI Jakarta Terus Didesak Lockdown, Wagub: Kami Ikuti Kebijakan Pemerintah Pusat
Perhitungan itu didapat dari asumsi lockdown di Jakarta saja, yang kebutuhannya diperkirakan mencapai Rp550 miliar per hari. Jika lockdown dilakukan selama 2 minggu, berarti membutuhkan biaya mencapai Rp7,7 triliun.
Sedangkan Jakarta diasumsikan menyumbang 70 persen terhadap perputaran uang nasional. Sehingga angka Rp25 triliun dianggap bisa membiayai lockdown nasional selama 14 hari. Menurut Bhima, jumlah uang itu tak seberapa dibanding kerugian jika kasus Covid terus melonjak akibat tidak lockdown.
“Biayanya lebih murah dibanding kerugian ekonomi daripada tidak lakukan lockdown,” ujar Bhima.
Ia menilai, pemerintah punya banyak pilihan untuk mencari sumber dana untuk lockdown. Misalnya dengan mengambil 30 persen dari dana infrastruktur yang sebesar Rp413 triliun, sudah langsung mencukupi. Atau merea lokasi pos belanja lain yang tidak mendesak.
Baca Juga: Bantah Lockdown Yogyakarta, Sultan HB X: Kita Nggak Kuat Biayai Rakyat
“Belum belanja pegawai dan belanja barang yang bisa dihemat. Buat apa ada Work From Bali untuk ASN? Selain risiko pemborosan anggaran perjalanan dinas juga berisiko penularan COVID-19 di destinasi wisata,” tuturnya.
“Pemerintah juga bisa stop dulu insentif pajak yang tidak tepat sasaran khususnya ke wajib pajak kakap. Ini digunakan agar penerimaan pajak yang hilang bisa ditekan karena salah satu penyebab rasio pajak rendah adalah obral insentif perpajakan,” imbuhnya.
Bhima juga meminta pemerintah tidak membebani daerah untuk pembiayaan penanganan Covid. Lantaran anggaran yang diterima daerah sudah kecil jika harus dibagi untuk urusan lockdown.
“Soal dana jangan diserahkan ke daerah pasti kapasitas anggarannya kecil. Wajar Pemda mengeluh. Masalah lockdown harus diserahkan ke pemerintah pusat atau kebijakan nasional,” pungkas dia.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.