JAKARTA, KOMPAS.TV - Pemerintah berencana mengenakan pajak pertambahan nilai (PPN) atas hasil pertambangan. Rancangan tersebut akan segera dibahas tahun ini karena telah ditetapkan dalam program legislasi nasional (Prolegnas) 2021.
Rencana tersebut juga tertuang dalam perubahan kelima Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).
Direktur Pelayanan, Penyuluhan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, Neilmaldrin Noor mengatakan, tidak menutup kemungkinan barang hasil pertambangan lainnya akan menyusul batubara yang sudah lebih dahulu kena pajak atas konsumen. Hanya saja butuh waktu untuk pembahasan dengan parlemen mendatang.
“Terkait dengan tarif tentu saya tidak bisa mendahului sebab masih ada pembahasan yang harus sama sama kami ikuti. Nantinya bagaimana pembahasan sebab tidak elok jika saya sampaikan sesuatu yang belum pasti,” kata Neilmaldrin saat Media Briefing, Senin (14/6/2021), dilansir dari Kontan.co.id.
Diketahui, pada rancangan beleid tersebut telah menghapus hasil pertambangan sebagai objek non-barang kena pajak (BKP) sebagaimana Pasal 4A ayat 3 butir g UU Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga Atas UU Nomor 8 Tahun 1983 tentang Jasa Pertambahan Nilai Barang dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah.
Baca Juga: Sosialisasi PPN Sembako ke 13 Juta Wajib Pajak
Komoditas yang Diusulkan Kena PPN
Adapun hasil pertambangan yang dimaksud yaitu, pertama, minyak mentah atau crude oil. Kedua, gas bumi, tidak termasuk gas bumi seperti elpiji yang siap dikonsumsi langsung oleh masyarakat. Ketiga, panas bumi.
Keempat, asbes, batu tulis, batu setengah permata, batu kapur, batu apung, batu permata, bentonit, dolomit, felspar (feldspar), garam batu (halite), grafit, granit/andesit, gips, kalsit, kaolin, leusit, magnesit, mika, marmer, nitrat, opsidien, oker, pasir dan kerikil, pasir kuarsa, perlit, fosfat (phospat), talk, tanah serap (fullers earth), tanah diatome, tanah liat, tawas (alum), tras, yarosif, zeolit, basal, dan trakkit.
Kelima, batubara sebelum diproses menjadi briket batubara. Keenam, bijih besi, bijih timah, bijih emas, bijih tembaga, bijih nikel, bijih perak, serta bijih bauksit.
Adapun, untuk batubara, pemerintah sebelumnya sudah mematok PPN sebesar 10 persen, atas kebijakan yang berlaku saat ini pasca UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja diundangkan pada akhir tahun lalu.
Sejalan dengan usulan perluasan basis pajak tersebut, pemerintah juga mengusulkan untuk meningkatkan tarif PPN dari 10% menjadi 12%.
Labih lanjut, Neilmaldrin menjelaskan saat ini PPN yang baru terkumpul di Indonesia yakni baru mencapai 60% dari potensi aktivitas ekonomi. Jauh dibandingkan negara lain misalnya rata-rata negara yang tergabung dalam Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) yang sudah berkisar 80%.
Penyebabnya, terlalu banyak fasilitas pengecualian PPN yang telah pemerintah berikan hingga saat ini. Sementara aktivitas dan pertumbuhan ekonomi dewasa ini terus mengalami pemulihan.
Untuk itu, Neilmaldrin mengatakan, pihaknya akan mencoba memerbaiki dari sisi administrasi hingga regulasi. Dengan masuknya barang pertambangan dalam barang kena PPN, harapannya penerimaan pajak ke depan bisa melonjak.
Baca Juga: Ini Kriteria Sembako dan Jasa Pendidikan yang Kena PPN dan Dianggap Tak Memberatkan Rakyat Miskin
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.