Aksi warganet Indonesia yang berbondong-bondong memberikan ulasan buruk Sungai Aare, Swiss, di pencarian Google menjadi sorotan sejumlah media Eropa. Salah satu di antaranya menyebut fenomena itu "sangat tidak masuk akal". Kesantunan dan kesopanan warganet Indonesia dalam bermedia sosial juga digarisbawahi.
Pengamat media sosial Enda Nasution "menyayangkan" reaksi beragam netizen menyikapi insiden yang menimpa putra Ridwan Kamil, Emmeril Khan Mumtadz. Enda memandang komentar-komentar yang aneh dan ulasan buruk itu "bagian dari ekspresi emosional" publik Indonesia.
Kendati begitu, Enda tak bisa memungkiri bahwa warganet di Indonesia, "perlu literasi digital".
"Di satu sisi iya kita punya suatu isu tentang kesantunan dan kesopanan, bagaimana kita berinteraksi di media sosial, tapi di sisi lain, menurut saya ada konteks yang berbeda dari komentar negatif di Aare river itu, karena ini bagian dari sebuah peristiwa yang menurut saya sangat tragis dan sangat tidak biasa," kata Enda kepada wartawan BBC News Indonesia, Ayomi Amindoni, Selasa (30/05).
"[Itu adalah] kesedihan, mungkin keterkejutan atau keheranan masyarakat bisa terjadi musibah seperti ini," ujar Enda kemudian.
Komentar Enda mengemuka setelah warga +62 - julukan untuk netizen Indonesia - menyerbu laman Sungai Aare di pencarian Google, meninggalkan komentar negatif dan rating buruk, seakan-akan arus sungai sepenuhnya harus disalahkan atas tragedi itu.
Banjir ulasan buruk sempat menurunkan peringkat lokasi itu menjadi 3.7.
Baca juga:
Emmeril Khan Mumtadz, yang akrab disapa Eril, tiba-tiba terbawa arus di Sungai Aare - yang menjadi salah satu destinasi wisata di Bern, Swiss - saat berenang bersama saudara perempuan dan teman-temannya pada Kamis (26/05).
Ia berada di negara itu untuk mengejar gelar pascasarjana.
Pencarian pria berusia 23 tahun itu hingga kini masih dilakukan pihak berwenang Swiss, lima hari setelah Eril dinyatakan hilang.
Terbaru, di tengah pencarian putranya di Swiss, Ridwan Kamil bertemu dengan warga Swiss yang pada saat kejadian membantu adik perempuan Eril dan temannya naik ke daratan dari arus sungai yang deras.
Kabar hilangnya Eril yang tiba-tiba memicu banyak warganet memberikan simpatinya pada keluarga Ridwan Kamil.
Akan tetapi, seiring dengan pencarian Eril yang berlangsung selama berhari-hari, simpati itu beralih menjadi aksi warganet yang memberikan ulasan buruk terhadap Sungai Aare di Google.
Selain rating buruk, sejumlah warganet juga memberikan komentar tentang sungai tersebut, dengan beberapa di antaranya menyebut sungai itu "tidak ramah untuk turis", "memakan korban", bahkan "tempat makan tumbal".
Komentar lain yang tidak relevan juga bertebaran di laman pencarian sungai itu.
Salah satu komentar warganet berkata, "bagusan sungai Ciliwung ke mana-mana", dan "kecewa sudah buat kang Ridwan Kamil sedih".
Komentar-komentar semacam itu kontan menuai respons dari publik Indonesia, yang menganggapnya sebagai "minim empati" dan "miskin edukasi".
Dikira komentar kek gini seru dan asik, tp mereka ga sadar sedang mempermalukan dirinya dan negaranya sndiri. Minim empati. Org kek gini bener2 bkin malu dan gapunya attitude. Contoh org yg miskin edukasi tp lebih suka komentar sampah drpda mengembangkan diri. pic.twitter.com/UWrzlkJ6zr
— . (@emaaaard) May 28, 2022
Pengguna Twitter lain menyinggung fenomena ini dengan fakta bahwa Indonesia dipandang sebagai "pengguna internet paling tidak sopan".
Hasil riset Microsoft dalam laporan bertajuk 'Digital Civility Index (DCI)' menempatkan netizen Indonesia pada peringkat 29 dari 32 negara untuk tingkat kesopanan netizen di Asia Tenggara.
Dibilang pengguna internet paling tidak sopan, ga suka. Tapi kelakuannya pada begini. Jangan kaget sampe puluhan tahun Indonesia masih jadi negara berkembang, masih terlalu banyak makhluk primitifnya
— That Man (@FlxDrs) May 28, 2022
Aksi netizen Indonesia pun menjadi sorotan sejumlah media Eropa yang meliput insiden tersebut.
Blick, media Swiss berbahasa Jerman pun menerbitkan artikel tentang "ulasan buruk Google untuk Aare" pada 28 Mei lalu.
Media itu menganggap banyaknya pengguna Indonesia yang memberikan ulasan dan rating yang buruk terhadap Sungai Aare sebagai "sangat tidak masuk akal" dan mengungkit sejumlah komentar yang berbicara tentang "penunggu".
Tapi media itu juga mengungkap bahwa komentar yang berseberangan juga bermunculan dari publik Indonesia, dengan beberapa di antaranya mengatakan, tidak ada yang dapat dimintai pertanggungjawaban atas insiden tersebut.
Serupa, media daring berbahasa Jerman 20min juga mengulas reaksi masyakarat Indonesia tentang insiden tersebut, tapi menegaskan, "beberapa peringkat bintang lima baru juga dapat ditemukan" dari publik Indonesia.
Pengamat media sosial Enda Nasution "menyayangkan" reaksi beragam netizen menyikapi insiden yang menimpa putra Ridwan Kamil, namun memandang komentar-komentar yang aneh dan ulasan buruk itu "bagian dari ekspresi emosional" publik Indonesia.
Kendati begitu, Enda tak bisa memungkiri bahwa warganet di Indonesia, "perlu literasi digital".
Enda mengatakan, literasi digital berkaitan dengan kemampuan untuk "membedakan opini dan fakta" dan mencari informasi yang menyeluruh di dunia maya.
"Kadang memang ada saat [di mana] netizen Indonesia itu enggak baca, dia cuma respons dari headline-nya saja," jelas Enda.
"Secara umum, literasi digital itu perlu ditingkatkan," ujarnya kemudian.
Baca juga:
Lebih jauh, Enda mengatakan bahwa kita tidak bisa berharap semua orang di dunia maya akan memberikan respons positif di dunia maya, sebab warganet sering kali memberikan komentar hanya berdasar yang mereka lihat, tanpa menggali informasi secara keseluruhan.
"Tapi di sisi lain, kalau konteksnya soal komentar di area Sungai Aare itu saya jujur melihatnya itu sebuah ekspresi kesedihan," katanya.
Selain itu, ia menilai reaksi ulasan buruk itu juga wujud kecemasan publik Indonesia terkait pencarian Eril Kamil, yang meski sudah berlangsung berhari-hari, tapi tanpa titik temu.
"Sebuah kecemasan dan kesedihan itu tertuang salah satunya dalam bentuk komentar dan rating di Google review Aare river."
Sementara itu, pakar psikologi sosial dari Universitas Padjadjaran Retno Hanggarini Ninin, salah satu etika dalam bermedia sosial adalah jika seseorang tidak setuju dengan orang lain, semestinya tidak perlu dikemukakan ke publik, tapi cukup kepada orang yang bersangkutan saja.
Oleh karena itu, kata Retno, jika ada suatu yang negatif yang diunggah di ruang publik tentang seseorang itu bukan suatu hal yang bisa dikatakan berniat baik.
"Idealnya, hal-hal seperti itu tidak perlu dilakukan."
"Tapi kita berbicara tentang masyarakat yang level edukasinya berbeda-beda, kemudian kepentingan dan motifnya berbeda-beda. Sehingga variasi dari apa yang mereka unggah di publik itu adalah sesuatu yang harus kita hadapi," jelas Retno
Untuk mengantisipasinya, perlu peran aktif dari orang, kelompok dan institusi yang berkaitan.
"Apakah melakukan edukasi di ruang publik, atau kalau kita kenal pelakunya, kita men-japri yang bersangkutan dan memberikan pertimbangan terhadap apa yang sudah dia lakukan di ruang publik," kata dia.
Dalam perkembangan terbaru, pencarian Eril di Sungai Aare terus dilakukan dengan mengintensifkan pencarian dengan metode jalan kaki, perahu, drone dan selam.
Lokasi pencarian mencakup area dari Eichholz hingga Wohlensee, dan berfokus di antara pintu air Schwelenmaetelli dan Engehalde.
Pada Senin (30/05), walikota Bern, Alec Van Graffenried menyampaikan simpati yang mendalam pada Ridwan Kamil dan istri yang menanti dengan cemas di tengah pencarian putranya.
Pada kesempatan yang sama, Ridwan Kamil bertemu dengan Heinrich, warga Swiss yang menyelamatkan putrinya yang berenang bersama Eril.
Sumber : BBC
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.