Di tengah keterbatasan itu, "pemerintah harus melakukan satu langkah terobosan", tegas Dicky.
"Artinya memperkuat sistem layanan kesehatan, setidaknya di level provinsi ada satgas (satuan tugas) di dinas kesehatan yang bisa membantu daerah-daerah untuk bisa mendeteksi ini dengan segala keterbatasan itu."
Ia pula menegaskan bahwa pemerintah Indonesia tidak bisa menganggap remeh penyakit misterius ini, sebab jika tidak direspons dengan serius maka akan memicu tidak hanya krisis kesehatan yang lebih besar, tapi juga krisis sumber daya manusia (SDM).
"Bayangkan, ada 30 juta anak Indonesia yang belum eligible (memenuhi syarat) untuk mendapatkan vaksinasi. Misalnya 10% saja dari itu terjadi kerusakan hepar (hati) yang semi-permanen saja, itu akan mengurangi kualitas SDM manusia Indonesia ke depan," cetus Dicky.
Mantan Direktur Penyakit Menular Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Asia Tenggara, Tjandra Yoga Aditama, mengatakan pemerintah perlu melakukan "penyelidikan epidemiologis mendalam untuk mendeteksi pola penularan".
Adapun Juru Bicara Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi mengatakan saat ini pihaknya telah melakukan lima penyelidikan epidemiologis, namun hingga kini belum menemukan pola penyebaran penyakit tersebut.
Ia menambahkan, status kasus-kasus yang terjadi di Indonesia sampai saat ini masih suspek dan belum bisa dikategorikan secara pasti sebagai hepatitis akut, namun baru dikategorikan sebagai pending classification.
Sebab, pemeriksaan laboratorium harus dilakukan, terutama pemeriksaan adenovirus dan pemeriksaan hepatitis E yang membutuhkan waktu antara 10-14 hari ke depan.
Selain surat kewaspadaan yang dikirimkan pada dinas kesehatan, Siti Nadia Tarmizi menegaskan bahwa semua kasus yang terkait dengan adanya sindrom kuning itu belum dikategorikan sebagai diagnosa pasti.
Karena ada pemeriksaan yang harus dilakukan dengan genom sequencing untuk mengetahui secara pasti bahwa penyakit itu bukan hepatitis A dan E.
Selain itu, pemerintah juga melakukan penguatan fasilitas kesehatan dengan adanya rujukan rumah sakit untuk penangangan hepatitis akut yang berat, seperti Rumah Sakit Sulianti Saroso di Jakarta, termasuk pemeriksaan laboratorium untuk menegakkan diagnosa pasti terkait penyebab hepatitis berat ini.
Di Sumatera Barat, Rumah Sakit Djamil di Padang ditetapkan sebagai rumah sakit rujukan hepatitis akut menyusul ditemukannya kasus suspek hepatitis akut yang meninggal dunia beberapa hari sebelumnya.
Kepala Bidang Pelayanan Medik RSUP M Djamil Padang, Bestari Jaka Budiman mengatakan pihaknya sudah menyiapkan ruangan ICU (Intensive Car Unit), NICU (Neonatal Intensive Care Unit) dan ruang perawatan.
"Ada delapan ruangan isolasi yang disiapkan untuk pasien dugaan hepatitis misterius ini," jelas Bestari.
Bestari menambahkan, pihaknya juga membentuk tim khusus penanganan dari dokter spesialis anak dan dibantu oleh Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Sumbar.
Mantan Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara Profesor Tjandra Yoga Aditama menganggap "terlalu dini" untuk menganggap hepatitis akut misterius ini sebagai pandemi baru.
Tjandra menjelaskan, secara global, kasus pertama hepatitis akut ini terjadi pada 5 April lalu. Namun diperkirakan, kasus yang sebenarnya telah terjadi sebelumnya.
Kendati WHO mengkategorikan penyakit baru ini sebagai outbreak atau wabah, namun menurut Tjandra bukan berarti penyakit itu akan berkembang menjadi pandemi.
"Apalagi kalau kita lihat dari tahun 2020 sampai sekarang, mungkin sudah ada 200 penyakit yang sudah outbreak tapi yang jadi pandemi hanya Covid-19, yang lain tidak," tegas Tjandra.
Merujuk pada pandemi Covid-19, Tjandra menjelaskan bahwa kasus Covid-19 diinformasikan pertama kali pada 31 Desember 2019.
Pada 5 Januari, WHO melaporkan kepada publik tentang penyakit baru tersebut dan kasusnya terus meningkat setelah itu.
Covid-19 baru diumumkan sebagai pandemi pada 11 Maret 2020, atau tiga bulan setelah kasus pertama dilaporkan.
"Jadi masih panjang perjalanan untuk melihat kasus ini dan saya kira terlalu dini kalau kita mengatakan bahwa ini akan menjadi pandemi," cetus Tjandra.
Sementara itu, epidemiolog Dicky Budiman mengungkapkan bahwa penyakit hepatitis akut ini memiliki potensi untuk menjadi epidemi atau wabah yang terjadi pada suatu kawasan, tapi menurutnya, "tidak mungkin" menjadi pandemi baru.
Baca juga:
Salah satu karakter dari pandemi, kata Dicky, selain dikategorikan sebagai emerging disease (penyakit baru), penyakit itu adalah penyakit yang belum dimiliki imunitasnya oleh manusia secara global.
Sehingga, penyakit itu tidak pandang bulu menyerang semua populasi, dan usia.
"Berbeda dengan hepatitis ini, kita melihat ini lebih rawan timbul pada anak. Kita memiliki hipotesa bahwa ada faktor yang membuat orang dewasa tidak terpapar. Itu berarti potensi ke arah pandemi itu mengecil."
Dicky memperkirakan penyakit hepatitis berat yang belum diketahui penyebabnya ini berkaitan dengan imunitas anak terhadap virus Covid-19, kendati ini harus dibuktikan secara ilmiah.
"Karena yang terpapar ini adalah umumnya anak di bawah lima tahun yang belum divaksin," cetus Dicky.
Lebih lanjut, Dicky mengungkapkan bahwa gejala penyakit hepatitis misterius itu hampir sama dengan gejala penyakit hepatitis yang sudah ada. Upaya pencegahannya pun tak jauh b d , yakni kebersihan dan kesehatan perorangan (personal hygiene).
"Personal hygiene itu bukan hanya cuci tangan saja, tapi juga ketika BAB karena hepatitis ini fecal oral," ungkap Dicky.
Fecal oral adalah penularan melalui mulut dari benda, makanan, atau makanan yang terkontaminasi kotoran orang yang terinfeksi virus hepatitis.
Salah satu yang paling kunci, kata Dicky, adalah meningkatkan protokol kesehatan.
Tak hanya dalam respons Covid, protokol kesehatan yang ketat juga penting untuk banyak penyakit, seperti hepatitis dan influenza.
"Itu yang bisa dan harus dilakukan di tiap-tiap rumah tangga, karena bicara personal hygiene ini juga bicara family hygiene dan community hygiene," kata Dicky.
Apalagi, dalam waktu dekat anak-anak sudah harus kembali ke sekolah. Jadi, selain melakukan protokol kesehatan yang ketat, kebersihan dan kesehatan perorangan juga harus dijaga.
"Ini bukti bahwa kita harus berubah perilakunya, lebih sehat dan lebih disiplin dalam menerapkan protokol kesehatan.
"Kerawanan anak-anak itu ditentukan oleh perilaku orang-orang dewasa di sekitarnya," cetus Dicky.
Laporan tambahan oleh Albert Chaniago, wartawan lepas di Padang, Sumatera Barat.
Sumber : BBC
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.