Keputusan Kepolisian Daerah Nusa Tenggara Barat (Polda NTB) menghentikan kasus AS, korban begal yang sempat ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan pembunuhan dua orang yang membegalnya, dianggap tidak profesional dan menggambarkan "ketidakmampuan polisi menangani kasus".
Ahli kriminologi dan kepolisian Adrianus Meliala mempertanyakan langkah polisi yang menetapkan AS sebagai tersangka, tapi polisi juga yang mengakhirinya. Dia menduga keputusan itu diambil karena tekanan dari media dan perintah dari atasan.
"Di mana esensi profesionalisme? Profesionalisme adalah sesuatu yang tidak bisa digoyahkan oleh tekanan manapun. Masa karena media lalu kemudian digoyahkan?"
"Yang kedua, bahwa ini kan memancing pendapat dari Kabareskim, dari Komjen Agus, yang kemudian langsung dimengerti sebagai perintah. Padahal dalam konteks Polri, penyidik itulah yang paling berkuasa atas kasusnya. Tapi, ini lagi-lagi membuktikan bahwa yang berkuasa bukan jabatan penyidik atas kasus itu, tapi struktur," kata Adrianus kepada BBC News Indonesia, Minggu (17/04).
Kasus AS termasuk tindak pidana pembelaan terpaksa, karena dilakukan untuk membela diri dan bisa dimaafkan. Itu diatur dalam pasal 49 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
Untuk menghindari salah pengertian di masyarakat terkait tindakan perlawanan terhadap kejahatan, Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform Erasmus Napitupulu menyarankan pihak kepolisian memberikan penjelasan kepada masyarakat mengenai penghentian kasus AS karena jika tidak, akan berpotensi menimbulkan kebingungan.
"Akui kalau ada kesalahan, baru jelaskan kenapa kemudian mereka menghentikan kasus itu. Jelaskan ke masyarakat, karena ini berbahaya. Banyak kasus salah sebut, orang mepet dianggap begal, padahal emang mepet saja, akhirnya dibunuh. Itu juga berbahaya. Jadi masyarakat juga perlu tahu, dalam kondisi apa daya paksa itu ada, dalam konteks apa kemungkinan Anda salah menerapkannya," kata Erasmus.
BBC News Indonesia berusaha menghubungi Polda NTB dan Mabes Polri untuk meminta tanggapan. Polda NTB mengirim keterangan pers yang dirilis sebelumnya bahwa gelar perkara menunjukkan aksi tersangka merupakan perbuatan pembelaan terpaksa.
"Sehingga pada saat ini tidak diketemukannya unsur melawan hukum baik secara formil dan materil," kata Kapolda NTB Irjen Pol Djoko Purwanto sebagaimana disebutkan dalam keterangan pers itu.
Baca juga:
AS hampir menjadi korban begal pada 10 April lalu, saat empat orang mengadangnya di malam hari di Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat. AS dipaksa menyerahkan sepeda motornya, tapi dia melawan dengan menusuk dua terduga pelaku begal yang berujung kematian keduanya.
Laporan pertama yang diterima Polres Lombok Tengah adalah penemuan dua orang yang bersimbah darah. Polisi langsung mendatangi TKP dan ditemukan barang bukti berupa pisau sepanjang 30 sentimeter, pakaian, dan sepeda motor korban.
Setelah dilakukan penyelidikan, ternyata peristiwa itu bermula dari percobaan begal terhadap AS. Dari hasil penyelidikan, yang juga dilengkapi dengan visum, polisi menetapkan AS sebagai tersangka dan protes pun mulai bermunculan.
Penetapan tersangka itu, kata Erasmus dari Institute for Criminal Justice Reform, menunjukkan bahwa polisi tidak mampu menangani kasus dengan baik dan perlu peningkatan kualitas sumber daya di kepolisian.
"Ini masih menunjukkan sumber daya kepolisian kita, penyidik kita itu memang masih belum baik, masih perlu ada yang ditingkatkan karena kasus yang sudah jelas-jelas begini saja kepolisian tidak mampu menganalisis secara baik, padahal ini kasus yang sangat sederhana," kata Erasmus.
Anggota Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Poengky Indarti juga menyebut penetapan status tersangka itu terbilang tergesa-gesa.
"Ada hal-hal yang kurang komprehensif dan ini memang menjadi koreksi bagi pembina fungsi reserse, karena bagaimana kok anak buahnya bisa seperti itu? Pembina fungsi reserse itu yang paling atas Kabareskrim," kata Poengky kepada BBC News Indonesia, Minggu (17/04).
Oleh sebab itu, menurut dia, pihak kepolisian harus melakukan peninjauan ulang profesionalitas aparat di lapangan dan seberapa jauh mereka berpegangan terhadap pedoman hukum.
Pada Sabtu (16/04), Kapolda NTB Irjen Djoko Poerwanto mengumumkan menghentikan kasus AS karena telah menjadi perhatian masyarakat luas dan berdasarkan hasil gelar perkara, tindakan AS merupakan perbuatan pembelaan terpaksa dan tidak ditemukan unsur perbuatan melawan hukum.
Sebelum Kapolda NTB mengumumkan penghentian kasus, Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Komjen Agus Andrianto meminta kasus AS dihentikan karena menurut dia masyarakat berpotensi menjadi apatis dan takut melawan kejahatan jika kasus itu tetap diteruskan.
Namun, Anggota Komisi Kepolisian Nasional Poengky Indarti menekankan melawan kejahatan yang dimaksud seharusnya dengan melakukan pencegahan, seperti melakukan pengamanan di lingkungan sekitar dengan siskamling, bukan menghadapi pelaku kejahatan sendirian.
"Kasus ini tidak boleh dimaknai masyarakat dibiarkan untuk melawan para pelaku kejahatan sendirian karena justru akan menimbulkan konflik horizontal, bisa jadi gesekan. Oleh karena itu, aparat kepolisian mestinya harus sigap."
"Dengan kasus ini lebih meningkatkan kecepatannya, fokusnya, untuk menciptakan lingkungan di sekitar kantor kepolisian itu menjadi lingkungan yang aman, Harkamtibnas-nya (Pemeliharaan Keamanan dan Ketertiban Masyarakat) terjaga," ujar Poengky.
Erasmus juga menyarankan pihak kepolisian menjelaskan alasan penghentian kasus ini secara lebih jelas, jika tidak, masyarakat akan kebingungan kapan membela diri bisa dibenarkan dan kapan membela diri justru berpotensi terjebak hukuman.
Pasal 49 KUHP, yang digunakan polisi dalam kasus AS, membagi pembelaan diri menjadi dua, yaitu Pembelaan Diri (Noodweer) dan Pembelaan Diri Luar Biasa (Noodweer Excess). Pasal 49 ayat 1 KUHP berbunyi: "Tidak dipidana, barangsiapa melakukan tindakan pembelaan terpaksa untuk diri sendiri maupun untuk orang lain, kehormatan kesusilaan atau harta benda sendiri maupun orang lain, karena ada serangan atau ancaman serangan yang sangat dekat dan yang melawan hukum pada saat itu."
Sementara Pasal 49 ayat (2) KUHP berbunyi: "Pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang langsung disebabkan oleh keguncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu, tidak dipidana."
Namun, tidak semua pembelaan diri bisa dibenarkan dengan pasal-pasal itu. Advokat Hak Asasi Manusia, yang pernah menjabat sebagai Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Asfinawati, menjelaskan daya paksa pembelaan diri harus seimbang dengan serangan.
"Dari kronologi kita bisa cari petunjuk bahwa sebetulnya jumlah antara korban dan pelaku tidak setara, lebih banyak pelaku. Itu akan membuat dia pembelaan darurat, tak ada jalan lain," kata Asfi.
Pembelaan terpaksa juga bisa dilakukan jika tidak ada cara lain lagi untuk melindungi diri.
Adrianus Meliala memprediksi kasus seperti yang dialami AS masih akan terjadi di masa depan karena "orang semakin berani dan mampu melawan" dan pelaku kejahatan yang kurang melakukan perencanaan.
Sebelum kasus AS pun, ada kasus serupa di Bekasi pada 2018 lalu. Seorang pemuda berusia 19 tahun terlibat perkelahian dengan dua begal dan pada akhirnya begal terluka parah, lalu meninggal. Pemuda itu sempat ditetapkan menjadi tersangka, kemudian polisi mengklarifikasi statusnya menjadi saksi.
Fakta itu membuat Adrianus menilai aparat penegak hukum memerlukan solusi bersama untuk menangani kasus serupa, tanpa mengulangi kesalahan yang sudah terjadi sebelumnya.
"Karena dalam hal ini polisi tidak sendiri, polisi harus melapor kepada jaksa, jaksa melapor kepada hakim, dan hakim kemudian menyidangkan, maka seyogyanya tiga lembaga ini membuat satu kajian, keputusan bersama. Jangan orang dicari penetapan hakimnya, tapi ditersangkakan dulu. Itu yang publik enggak bisa terima."
"Mesti ada jalan keluar untuk kemudian penetapan hakim dapat diambil, tanpa pelaku dinyatakan sebagai tersangka," kata Adrianus.
Artikel ini merupakan hasil liputan BBC Indonesia yang ditayangkan juga di Kompas.TV
Sumber : BBC
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.