Kompas TV bbc bbc indonesia

Mengapa Indonesia Tak Menyebut 'Invasi' dan 'Rusia' dalam Merespons Serangan Militer ke Ukraina?

Kompas.tv - 5 Maret 2022, 08:49 WIB
mengapa-indonesia-tak-menyebut-invasi-dan-rusia-dalam-merespons-serangan-militer-ke-ukraina
Seorang tentara Ukraina merokok di depan kendaraan lapis baja di luar kota Kharkiv, Ukraina, Sabtu (26/2/2022). (Sumber: AP Photo/Andrew Marienko)
Penulis : Edy A. Putra

Ukraina - melalui kedutaan besar di Jakarta - meminta dukungan Indonesia agar bersuara lantang dan berani membela negara Eropa timur itu.

Pengamat hubungan internasional mengatakan kehati-hatian Indonesia terkait antara lain karena banyaknya konsesi investasi Rusia di Indonesia serta kepemimpinan Indonesia di G-20.

Tetapi kementerian luar negeri mengatakan sikap Indonesia sudah tegas tanpa harus menyinggung salah satu pihak.

Sejak serangan Rusia yang diluncurkan pada 24 Februari lalu, Indonesia tidak secara gamblang menyinggung nama Rusia sebagai pihak yang menginvasi Ukraina.

Dalam dua kesempatan, Presiden Joko Widodo tidak menyebut nama Rusia saat membahas perang Ukraina. Menteri Luar Negeri Retno Marsudi juga dalam keterangan persnya lebih menekankan pada proses evakuasi WNI, de-eskalasi dan masalah kemanusiaan di Ukraina, dan tidak menggunakan kata serangan militer atau invasi Rusia.

Baca juga:

Tidak ada kata 'invasi dan Rusia'

Tanggapan invasi Rusia ke Ukraina, pertama disinggung Presiden Jokowi melalui Twitter.

Dalam kesempatan kedua, di rapat pimpinan TNI dan Polri tahun 2022, Selasa lalu (01/03), Jokowi kembali menyinggung perang Ukraina yang disebut menjadi salah satu faktor pemicu ketidakpastian global.

"Tantangan ke depan tidak semakin gampang… penuh dengan ketidakpastian. Dulunya ketidakpastian karena disrupsi teknologi, revolusi industri 4.0, ditambah lagi dengan pandemi, ditambah lagi dengan perang di Ukraina."

"Sehingga apa? ketidakpastian global yang juga merembet kepada ketidakpastian negara-negara di manapun di dunia ini menjadi semakin meningkat," kata Jokowi.

Dalam dua pernyataan tersebut, Jokowi tidak menyinggung nama Rusia sebagai pihak yang melakukan serangan militer atau invasi.

Kemudian, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi dalam siaran persnya Selasa kemarin juga tidak menyinggung invasi Rusia.

Retno lebih menekankan pada proses evakuasi WNI sebagai prioritas, penghormatan terhadap kedaulatan, de-eskalasi dan masalah kemanusiaan. Pernyataan yang sama juga terlihat dalam cuitan Kemlu di Twitter, dengan menyebut serangan militer di Ukraina.

Begitu juga saat Indonesia di sesi khusus darurat PBB mengenai Ukraina di Markas Besar PBB, New York Senin lalu (28/02).

Dalam keterangan persnya, tidak ada kata Rusia dan invasi. Wakil Tetap RI untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di New York, Duta Besar Arrmanatha Nasir, lebih menekankan pada kepentingan kemanusiaan di krisis Ukraina.


Rusia menyerang Ukraina:


"Aksi militer di Ukraina mempertaruhkan nyawa warga sipil dan mengancam perdamaian serta stabilitas regional dan global," tutur Dubes Tata.

Mengapa Indonesia tidak menyebut invasi dan Rusia?

Guru besar hubungan internasional dari Universitas Pelita Harapan, Aleksius Jemadu, mengatakan sikap Indonesia yang tidak menyebut Rusia dan invasi menunjukkan sikap kehati-hatian, yang bahkan cenderung gamang.

Sikap Indonesia ini berbeda ketika merespons konflik Israel-Palestina, di mana Jakarta dengan tegas mengutuk dan tidak menjalin hubungan diplomatik dengan Israel.

"Indonesia tidak ingin memberi kesan memihak dalam pertarungan sisa-sisa dari Perang Dingin, antara AS dan Uni Soviet, yang sekarang NATO, Ukraina dengan Rusia. Ini pertarungan antara negara besar, dan kita tidak ingin memihak," kata Aleksius.

Faktor lain, dugaan dia yang lebih spesifik adalah, "ada satu kepentingan Indonesia dan tidak mau dikorbankan, yaitu menjaga jarak yang sama dengan semua kekuatan besar, agar kepemimpinan Indonesia dalam G-20 berhasil," kata Jemadu.

Sementara itu, pengamat hubungan internasional dari Universitas Indonesia, Suzie Sudarman, melihat sikap hati-hati itu di antaranya dipengaruhi oleh kebutuhan Indonesia akan Rusia untuk mengimbangi China di Natuna, Laut China Selatan dan juga banyak konsensi investasi Rusia di Indonesia.

Ditambah lagi, kata Suzie, pengaruh politik dan sosial dalam negeri yang tidak memaksa pemerintah untuk tegas atas serangan Rusia ke Ukraina.

"Kalau konflik Israel-Palestina itu menghimpun suara Islam di Indonesia, sedangkan perang Ukraina, membela orang kulit putih yang rambutnya blonde dan mata biru, itu tidak menarik untuk di dalam negeri," katanya.

Ukraina minta suara lantang Indonesia, dan sejarah masa lalu

Pemerintah Ukraina melalui kedutaannya di Jakarta meminta dukungan Indonesia dalam perang melawan Rusia.

Dalam keterangan tertulis, Selasa (01/03), Ukraina menegaskan tidak bertekuk lutut terhadap ancaman kematian, sama seperti Indonesia tidak menyerah 70 tahun yang lalu.

"Kami akan berdiri tegak dan meraih kemenangan. Namun dengan dukungan Anda, maka kemenangan dapat kami raih dengan lebih mudah, lebih pasti dan lebih cepat."

"Rakyat Indonesia, keadaan saat ini sungguh berat dan menyakitkan bagi kami. Oleh karena itu, kami menunggu dukungan Anda. Kami berharap dapat mendengar suara Anda yang lantang dan berani dalam membela kami," tulisnya.

Suzie Sudarman menambahkan, Ukraina pernah membantu Indonesia di tahun 1940-an saat berjuang memperoleh kemerdekaannya.

"Diplomatnya (Ukraina) membawa isu Indonesia saat AS belum berpihak pada Indonesia, itu satu hal yang harus kita ingat. Belarus dan Ukraina memperjuangkan isu Indonesia untuk dibahas ke PBB, pada saat AS kurang menarik pada Indonesia karena masih berpihak pada Belanda," ujarnya.

Untuk itu menurutnya, Indonesia perlu mengambil sikap tegas atas yang terjadi di Ukraina dan juga agar pola akusisi seperti ini tidak terulang kembali.

"Kita harus ingat bahwa kita pernah dibantu oleh negara yang teraniaya negara adidaya ini. Sebagai sejarah masa lalu dan juga pola seperti ini tidak bisa diulangi oleh negara-negara lain," ujarnya.

Pengamat hubungan internasional dari Badan Riset dan Inovasi Nasional, Nanto Sriyanto, juga melihat Indonesia perlu menunjukkan sikap tegas terkait perang di Ukraina.

"Indonesia harus menyatakan dengan tegas bahwa Rusia melakukan invasi. Itu bukan politik naming dan shaming. Tapi sikap dari prinsip Konferensi [Asia-Afrika] Bandung yang menekankan penghormatan pada kedaulatan," kata Nanto.

Jika tidak, sikap Indonesia yang hati-hati berpotensi menjadi bumerang di masa mendatang.

"Ketidaktegasan Indonesia menciptakan institutional memory dalam diplomasi. Dan bisa menjadi bumerang di masa depan. Kedaulatan adalah norma luhur dalam hukum internasional dan ketika itu dilanggar, Indonesia harus berdiri tegak membela itu," ujarnya.

Kemenlu: Sikap Indonesia sudah tegas

Juru bicara Kementerian Luar Negeri Teuku Faizasyah menegaskan, sikap dan posisi Indonesia telah tegas terkait serangan di Ukraina.

"Posisi Indonesia adalah penegakan prinsip Piagam PBB, hukum internasional, dan terpenting lagi penghormatan terhadap integritas wilayah dan kedaulatan suatu negara... Sebenarnya tidak perlu diragukan lagi bagaimana kita melihat permasalahan yang sedang terjadi sekarang."

"Kita betul-betul melihat apa yang sebagai serangan itu sebagai suatu serangan militer yang harus dihentikan," kata Faizasyah saat ditanya terkait permintaan dukungan dari Ukraina.

Sementara terkait tidak adanya penyebutan nama Rusia, Faizasyah mengatakan posisi tegas Indonesia tidak harus menyebutkan satu pihak tertentu.

"Jadi dalam kasus-kasus yang spesifk yang disebutkan tadi, kita berangkat dari posisi yang sangat jelas, berangkat dari hukum internasional, tanpa harus menyebutkan satu pihak tertentu sekalipun. Apa yang disampaikan oleh pemerintah sudah betul-betul dipahami oleh berbagai pihak," ujarnya.

Senada, mantan Duta Besar Indonesia untuk Rusia, M. Wahid Supriyadi, menyebut upaya dan pernyataan yang diungkapkan Indonesia telah cukup tegas, di tengah faktor-faktor yang sangat rumit mempengaruhi dan juga hubungan baik Indonesia dengan kedua negara.

Baca juga:

"Bagaimanapun invasi itu tidak dibenarkan secara hukum internasional, tapi di sisi lain memang, kita punya kapasitas yang cukup sulit dalam kondisi seperti ini," ujarnya.

Seperti dengan Rusia, katanya, Indonesia memiliki hubungan perdagangan sebesar US$3 miliar. Indonesia juga memiliki forum bilateral yang erat, dan kini dalam tahap penandatanganan strategic partnership dengan Rusia.

"Jadi posisi Rusia penting, dan Indonesia juga dekat dengan Ukraina. Jadi menghadapi dua sahabat memang tidak mudah. Karena menjadi penengah bukan mudah dan harus ada persetujuan dua pihak," ujar Wahid.

Pertempuran sengit masih terus terjadi, dengan kota-kota kunci seperti Kyiv dan Kharkiv yang menjadi sasaran gempuran Rusia.

Menurut PBB, sekitar 900.000 warga Ukraina menyelamatkan diri ke negara-negara tetangga sejauh ini.

Sementara itu, berdasarkan informasi hingga Selasa (01/03), 99 WNI telah dievakuasi dari Ukraina.

Sementara, ada sekitar 13 WNI yang belum dapat dievakuasi dan 24 WNI memilih tetap tinggal di Ukraina.

 

Artikel ini merupakan hasil liputan BBC Indonesia yang ditayangkan juga di Kompas.TV






Sumber : BBC




BERITA LAINNYA



FOLLOW US




Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.


VIDEO TERPOPULER

Close Ads x