Peneliti dari Australia, Dr Jess Melvin meneliti pembantaian orang-orang yang dituduh anggota dan simpatisan PKI di Aceh selama 10 tahun.
Dia meneliti 3.000 halaman dokumen arsip militer di Aceh dan meneliti catatan, rekaman, dan hasil wawancara 70 orang yang selamat, eksekutor, dan saksi mata dalam aksi kekerasan 1965 di Aceh.
Dari penelitian itulah, dia kemudian menyusun disertasi yang diujikan di Universitas Melbourne pada 2014.
"3.000 halaman dokumen itu," kata Jess Melvin, "membuktikan keterlibatan militer Indonesia dalam pembunuhan massal 1965-1966."
Kesimpulan penelitiannya juga menunjukkan sebuah koordinasi tingkat tinggi dan terpusat yang bisa ditelusuri rantai komandonya hingga ke Suharto di Jakarta.
Hasil penelitiannya itu kemudian diterbitkan menjadi buku berjudul The Army and The Indonesian Genocide: Mechanics of Mass Murder (2018).
Buku ini sedang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh penerbit Komunitas Bambu dan akan diterbitkan pada 24 Februari 2022.
Saya mewawancarai Jess Melvin melalui sambungan zoom pada Selasa, 9 November 2021, dan berikut petikannya:
Apa bukti bahwa pembantaian 1965 di Aceh merupakan perintah dari pimpinan militer di Jakarta?
Ada pengumuman militer Indonesia, pada pagi 1 Oktober 1965, yang menyatakan militer harus siap. Malam harinya, sudah ada perintah langsung dari militer, bahwa PKI harus ditumpas.
Untuk melakukan itu, militer memakai rantai komando yang sudah disiapkan sebelumnya.
Pada pagi 1 Oktober 1965, militer mampu menerapkan darurat militer yang sudah mulai di Sumatera, dan mereka memakai semua struktur itu.
Mulai 1 Oktober 1965 sudah ada koordinasi dan melakukan pembunuhan massal.
Anda mengatakan kekerasan 1965 di Aceh sebagai yang pertama di Indonesia?
Ini semua sangat kompleks. Kalau kita melihat bukti militer, ya. Kita punya tanggal spesifik untuk tanggal 9 Oktober di Aceh Barat, itu korban pertama. Ada nama, ada tempat, dan alasan kenapa dibunuh. Ini ditulis oleh militer sendiri.
Tapi apakah itu yang pertama, kita tidak tahu. Pasti ada pembunuhan di tempat lain.
Namun kalau berdasarkan catatan militer sendiri, itu pembunuhan pertama dimulai di Aceh.
Saya tidak berpikir militer memiliki rencana untuk memulai pembunuhan massal di Aceh. Mereka keluarkan pengumuman itu secara nasional, tapi Aceh paling siap untuk bergerak, dan untuk memulai prosesnya.
Aceh dikatakan paling siap karena struktur komando memang membuat mereka siap. Atau ada faktor lain, misalnya, pimpinan tentara di Sumatera termasuk golongan anti komunis?
Ada beberapa alasan. Misalnya, kalau di Aceh, baru saja berakhir pemberontakan Darul Islam (DI/TII). Jadi militer sudah kuat di Aceh.
Di wilayah Sumatera, militer juga kuat. Itu menjadi contoh bagi negara, untuk menjalankan rezim militer di Indonesia.
Mana yang lebih dulu, fatwa ulama di Aceh yang 'menghalalkan' membunuh orang-orang PKI, atau keputusan militer di Jakarta untuk melakukan pembasmian sampai ke akar-akarnya?
Kalau pengumuman militer untuk menghancurkan dan bunuh orang PKI itu keluar 1 Oktober 1965. Itu sudah dari awal.
Pada 4 Oktober 1965, militer sudah menyuruh masyarakat ikut dalam kampanye untuk membantu membunuh. Jadi sejak awal Oktober 1965.
Kalau masalah fatwa ulama di Aceh, itu baru terjadi pada Desember 1965. Jadi dua bulan setelah pembunuhan dimulai.
Malah fatwa itu keluar waktu pembunuhan massal sudah selesai di Aceh.
Dan itu terjadi dalam konteks, ketika Panglima Antar Daerah Sumatera Letnan Jenderal Ahmad Mokoginta datang ke Banda Aceh untuk bilang 'kita sudah membunuh PKI, sekarang kita sudah bisa membuat yang lain'.
Dia membuat pengumuman di depan Masjid Raya di Banda Aceh, dan di situ dia mengajak ulama ikut dia. Fatwa itu dikeluarkan di situ.
Jadi, itu menjadi alasan kenapa itu 'sah', kenapa mereka tidak bersalah, ikut dalam kampanye militer.
Dan ulama dipakai sebagai alat oleh militer pada waktu itu. Kita juga perlu ingat, hal ini baru setelah terjadi pemberontakan Darul Islam di Aceh.
Jadi para pemimpin Islam juga harus cari perhatian kepada militer saat itu. Mereka dianggap musuh sebelumnya. Tapi sekarang mereka saling mendekat dan bersama-sama.
Apakah dari temuan Anda di lapangan, ada bukti bahwa pembunuhan terhadap orang-orang yang dicap PKI di Aceh, juga spontanitas masyarakat?
Bagaimana itu spontanitas masyarakat? Dari 1 Oktober 1965, sudah ada perintah militer untuk menghancurkan dan membunuh semua anggota PKI.
Dan mulai 4 Oktober 1965, masyarakat sudah disuruh untuk ikut.
Jadi pembunuhan itu terjadi dalam konteks masyarakat 'harus ikut' atau mereka akan dituduh sebagai PKI.
Itu yang dibuat oleh Pangdam I/Iskandar Muda, Brigadir Jenderal TNI Ishak Juarsa, yang keliling daerah, dan membuat itu menjadi sangat jelas.
Dan, kalau ada masyarakat Aceh yang bersemangat untuk ikut menumpas PKI, itu pasti ada.
PKI itu juga banyak musuh di Aceh. Tapi kalau itu akan terjadi tanpa ada pengumuman dari militer, saya rasa itu tidak mungkin.
Apakah selama riset, Anda juga menemukan bukti seperti apa detil peranan militer, apakah sampai ke hal teknis, misalnya menyediakan truk untuk mengangkut tahanan PKI?
Untuk proses memfasilitasi pembunuhan, ya kita dapat bukti itu. Misalnya ada surat berisi nama-nama orang yang diambil dari penjara militer dan dibawah untuk dibunuh. Semua itu ada.
Kita juga dapat dokumen dari Aceh Utara, yang menjelaskan berapa senjata yang dipegang oleh Hansip dan Hanra di pos penjagaan untuk membunuh PKI. Semua ada di situ, dan sangat detil.
Itu bukti dokumen internal TNI yang Anda temukan?
Ya. Ini kampanye nasional. Dan ini perlu organisasi yang sangat kuat untuk menjalankan seperti ini.
Jadi kita ada catatan dari semua rapat-rapat yang ada. Kita tahu apa yang mereka putuskan di situ. Dan bagaimana pembunuhan itu dilakukan.
Sampai militer merekam berapa orang yang dibunuh di jalan-jalan waktu itu. Ada peta yang mereka buat. Mereka sangat tahu apa yang terjadi waktu itu. Mereka rekam semua.
Dan peta itu tertera dalam buku Anda, 'peta kematian'?
Ya, di setiap kabupaten, mereka mencatat berapa orang yang dibunuh di jalan-jalan.
Selain itu, kita mendapatkan bukti bahwa proses pembunuhan berjalan sistematis dengan wawancara orang-orang yang ikut dalam proses itu.
Apakah penelitian Anda juga menemukan metode eksekusi yang terjadi di Aceh pada tahun-tahun itu? Apakah setiap kota sama, atau ada kekhususan setiap daerah?
Ada pola besar yang bisa kita lihat di seluruh Aceh, dan ada pula pola khusus di kabupaten tertentu.
Jadi, kalau pola besar, yang kita lihat, pembunuhan itu dimulai dengan demonstrasi. Lalu militer keluar, memberi perintah agar orang-orang harus bergabung.
Setelahnya, mereka mendatangi ke kantor dan rumah pimpinan PKI, menggelar demonstrasi di sana.
Kemudian, apabila mereka menangkap anggota PKI di lokasi, rata-rata mereka dibunuh di situ juga.
Mayatnya ditemukan di sana. Itu pembunuhan di tempat umum. Itu terjadi di seluruh Aceh.
Selanjutnya, banyak orang-orang PKI yang berada di dalam penjara. Ada keputusan baru untuk membawa mereka ke tempat pembunuhan.
Nah, mereka biasanya dibawah naik truk militer ke tempat itu.
Nah, di setiap kabupaten, ada pola yang sedikit berbeda, misalnya di Banda Aceh. Kita tahu itu militer yang menembak langsung para tahanannnya. Ini yang terjadi pada pimpinan PKI Thaib Adamy yang ditembak di Lhoknga.
Di Takengon, militer juga ikut langsung dalam pembantaian. Mereka yang memotong leher atau menembak korban.
Tapi juga ada tempat di mana mereka menggunakan 'orang-orang politik' seperti di Aceh Barat. Mereka menggunakan 'orang pemerintah' untuk ikut dalam proses pembunuhan.
Di Lhokseumawe, ada kasus mereka merekrut warga sipil untuk melakukannya. Mereka diancam untuk ikut dalam proses pembunuhan.
Tapi, kalau mau melihat pola besar, ini semua dalam konteks militer yang melakukan rencana untuk menghanccurkan dan menumpas sampai habis PKI di Aceh.
Dalam penelitian Anda, apakah Anda juga menemukan sebagian besar orang yang dibunuh, adalah orang-orang yang tidak tahu apa-apa atau hanya ikut-ikutan, dan bahkan tidak berafiliasi dengan PKI?
Ya, ini memang modus operandi militer Indonesia, yang sama dengan konflik di Aceh kemarin.
Tapi kalau tahun 1965, yang bisa kita lihat, targetnya itu golongan komunis di Indonesia.
Jadi, mereka membunuh kader, pemimpin politik PKI. Habis itu juga ada pemimpin organisasi-organisasi yang berafiliasi dengan PKI. Misalnya Gerwani, Pemuda Rakyat, dll. Mereka juga diserang.
Habis itu ada keluarga mereka, istri, ada anak-anak yang juga dibunuh pada waktu itu.
Terus orang yang mungkin satu kampung sama orang PKI juga diserang, dan dituduh PKI.
Sampai juga ada orang yang kerjsama dengan mereka, kawan dan rekannya dan juga komunitas Tionghoa diserang seluruhnya.
Padahal, hanya sebagian dari komunitas Tionghoa itu pro-komunis. Tapi semuanya diserang pada waktu itu.
Jadi, itu kelompok yang jauh lebih besar daripada anggota PKI saja, sengaja diserang, seperti itu biar habis dibunuh.
Apakah penelitian Anda juga berhasil mengungkap berapa jumlah orang yang dibunuh di Aceh?
Kita tidak tahu dengan pasti berapa orang yang dibunuh di Aceh. Tapi kita tahu dari catatan militer sendiri yang dibunuh di tempat umum, itu 2.000 orang.
Nah, menurut Panglima Antar Daerah Sumatera, Letjen Ahmad Mokoginta, ada 6.000 orang yang dibunuh di Aceh.
Dari riset saya di beberapa kabupaten, kemungkinan rata-rata 10.000 orang dibunuh.
Tapi kalau ingin melakukan riset lebih mendalam, harus pergi ke setiap daerah, ke setiap kabupaten. Kalau itu tidak dilakukan, kita tidak akan tahu angkanya. Dan riset seperti itu belum dibuat.
Tulisan ini merupakan bagian dari liputan khusus Pembantaian massal 1965 di Aceh — Kisah Algojo, korban terlupakan dan upaya penyembuhandi situs BBC News Indonesia.
Anda juga bisa menyimak kisah ini di Siaran Radio Dunia Pagi Ini BBC Indonesia dan siniar kami di Spotify.
Produksi visual oleh Anindita Pradana. Grafis oleh tim jurnalis visual East Asia BBC News.
Sumber : BBC
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.