Thaib Adamy pernah dipenjara dua tahun karena divonis bersalah oleh Pengadilan Negeri (PN) Sigli, Aceh, 1963, akibat tuduhan menghasut yang dianggap menimbulkan onar.
"Dia dihukum dua tahun karena dianggap terbukti menghasut rakyat untuk membenci pejabat negara," ungkap Syahriar Sandan, salah-seorang bekas pengacaranya, kepada BBC News Indonesia, akhir Oktober lalu.
Tuduhan itu berpangkal dari pidato Thaib pada Rapat Umum PKI, 3 Maret 1963, di gedung bioskop Beringin di Kota Sigli.
Dia kemudian ditangkap pada akhir Maret 1963 atas perintah Kolonel M Jasin, selaku Panglima Kodam I Iskandar Muda.
Syahriar Sandan, kelahiran 1939, ditunjuk sebagai pengacara pengganti dalam perkara Thaib Adamy.
Dia menggantikan Sofyan SH, yang berhalangan lantaran harus operasi usus buntu.
"Usia saya saat itu 24 tahun, saya masih sarjana muda," ungkap Syahriar saat ditemui BBC News Indonesia di kediamannya di Kota Medan, Sumatera Utara.
Syahriar mulai mendampingi Thaib saat pembacaan pembelaannya di PN Sigli, Kamis, 12 September 1963, yang digelar di Kantor Kodim — belum jelas kenapa digelar di kantor militer itu.
Pledoi Thaib kemudian dimuat dalam buku 'Atjeh Mendakwa' yang diterbitkan Komite PKI Aceh, awal Januari 1964.
Dalam pembelaannya, "dia mengupas persoalan bagaimana keadaan suasana negeri kita pada waktu itu, baik di bidang ekonomi atau politik," ungkap Syahriar.
"Mirip pidato politik," tambahnya. Dalam buku setebal 127 halaman itu, Thaib menolak segala tuduhan menghasut seperti didakwakan tim jaksa.
"Peristiwa pengadilan ini pertarungan terbuka kekuatan Manipol melawan kaum Manipolis munafik," tulis Thaib.
Adapun tim pengacaranya, dalam pembelaannya, menyatakan tuduhan jaksa "tidak terbukti" karena "tidak ada kerusuhan yang ditimbulkan karena pidatonya," kata Syahriar.
Namun majelis hakim, rupanya, menyandarkan putusannya antara lain dari keterangan saksi memberatkan yang dihadirkan jaksa.
"Saksi itu menyatakan ada ejekan terhadap bupati, yaitu 'huuuh', saat dia lewat... Bupati dipermalukan," ungkap Syahriar.
Saat Thaib membacakan pledoinya, Syahriar masih ingat gaya kliennya berbicara. "Saya ingat gaya bahasanya, tidak berkobar-kobar. Menyenangkan," ungkapnya.
Dia juga tidak bisa melupakan persidangan hari itu dihadiri "banyak orang" di luar ruangan sidang. Mereka datang dari berbagai beberapa kota di pesisir timur Aceh, katanya.
Dalam buku Atjeh Mendakwa, disebutkan dihadiri massa pendukungnya yang mencapai 10.000 orang. Sidang juga digelar hingga sekitar lima jam.
"Saya ingat, ada teriakan dan tepuk tangan pendukungnya," ungkap Syahriar.
"Saya tidak tahu berapa yang hadir, karena saya di dalam ruangan sidang. Saya juga tidak menghitung berapa jam dia membacakan pembelaannya," tambahnya.
Seorang warga Kota Sigli, Teungku Jamil alias Jamil Rasyid, kini berusia 80 tahun, masih teringat seperti apa suasana sidang saat Thaib Adamy membacakan pembelaannya.
"Kita berada di luar [gedung peradilan]... banyak orang mendengar pembelaannya," kata Jamil. "Ada pendengar suara di luar."
Jamil dulu aktif di Pelajar Islam Indonesia (PII), yang berada di barisan antikomunis ketika pembantaian 1965 mulai terjadi di Aceh.
"Saya mendengar banyak orang agak simpati kepada pidatonya pada waktu itu," ujarnya saat ditemui BBC News Indonesia di rumahnya di kampung Blang Paseh, Sigli, akhir Oktober 2021 lalu.
"Orang kayak Thaib Adamy itu pintar berbicara. Rakyat agak simpati dengan pidatonya," akunya. "Orang-orang senang saat dia bicara."
Usai pembacaan vonis, Syahriar mengaku tidak pernah bertemu kembali dengan Thaib. Dua tahun kemudian, menjelang G30S, masa hukumannya berakhir.
"Apa yang terjadi pada dia [setelah dibebaskan], saya tidak tahu. Cuma banyak kabar tentang dia sesudah G30S, dia dibawa ke daerah Lhoknga atau daerah mana, dia dibunuh di situ," kata Syahriar.
Tragedi yang menimpa keluarga Thaib Adamy meninggalkan trauma, tak hanya anak-anaknya, tetapi juga keluarga besarnya.
Jarak waktu lebih dari 55 tahun dari peristiwa kekerasan itu, rupanya, belum membuat kadar trauma sebagian dari mereka menjadi berkurang.
Kenyataan seperti itu jelas terlihat ketika kami mengajak Setiady ke kampung halaman ayahnya di Idi Rayeuk, Aceh Timur, dan ke kota Medan, untuk bertemu sanak keluarganya.
Salah seorang adik perempuannya yang kami temui di Medan, sambil berlinang air mata, menolak untuk mengisahkan ulang kenyataan pahit yang dialaminya.
Dia mengaku masih mengalami trauma. Ada pula kekhawatiran terhadap sikap masyarakat yang akan melabelinya dengan stigma PKI jika identitasnya diungkap.
Kepada kami, dia hanya mau menjelaskan alasannya menolak diwawancarai.
"Saya tadi menangis, karena masih trauma. Jantung rasanya sakit. Saya takut terulang lagi [kejadian kekerasan itu]... Sudahlah, serahkan semuanya kepada Allah," ujarnya perlahan.
Ketakutan seperti ini juga terpancar dari keluarga besar Thaib Adamy yang kami temui di Kota Idi, Aceh Timur — kira-kira empat jam perjalanan darat dari kota Medan.
Kami menangkap kesan, mereka masih menaruh khawatir bahwa peristiwa kekerasan seperti itu terulang kembali. Inilah yang menjadi alasan keengganan keluarga Rohani, sepupu Thaib Adamy, untuk bersaksi.
Rohani, kelahiran 1942, adalah sepupu Thaib Adamy dari garis ibunya. Dia tinggal bersama salah-satu putrinya di salah-satu ruas jalan protokol di kota kecil itu. Di rumahnya tumbuh pohon mangga yang rindang.
Dia akhirnya bersedia diwawancarai, tapi sama-sekali tidak mau menyinggung latar belakang di balik peristiwa kekerasan 1965 yang menimpa keluarga besarnya.
Salah seorang putrinya mengaku khawatir jika peristiwa itu diungkit lagi akan berisiko terhadap keamanan keluarganya pada situasi sekarang atau nanti.
"Siapa yang bisa menjamin kejadian kekerasan itu tak terulang lagi?" ujarnya berulang-ulang.
Rohani kemudian lebih banyak bercerita sosok Thaib Adamy sebagai 'manusia biasa' dan bukan sebagai politikus PKI.
"Saya seperti adiknya sendiri, padahal kami sepupu," ungkapnya.
Dia lalu menyinggung sedikit tentang silsilah Adamy yang memang berasal dari Kota Idi. "Yang betul, nama awalnya itu Adam, lalu ditambah 'i' atau 'y' di belakangnya," ungkapnya.
Sebelum terjun ke politik, Thaib Adamy adalah seorang masinis kereta api. Dahulu kala, Kota Idi dilalui jalur kereta api yang menghubungkan Banda Aceh-Medan.
Dia lalu teringat, Thaib pernah singgah ke rumah keluarganya di Idi, ketika kereta api yang dikendarainya berhenti di Stasiun Idi.
Sumber : BBC
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.