Thaib Adamy, pimpinan Partai Komunis Indonesia (PKI) di Aceh adalah satu dari ribuan orang yang dibantai pada 1965-1966 di wilayah itu. Salah seorang anaknya memberanikan diri bersaksi atas tragedi itu, setelah puluhan tahun menguburnya dalam-dalam.
"Tembak saya di kepala... Kuburkan saya sendiri, supaya anak-anak saya bisa lihat kuburan saya..."
Di hadapan sang eksekutor yang siap dengan pistolnya, Thaib Adamy mengucapkan pesan terakhir sebelum ajal menjemputnya. Dia berujar perlahan dalam bahasa Aceh.
Sejurus kemudian terdengar bunyi "dor!" Gaungnya memecah kesunyian malam di salah satu sudut di kawasan Lhoknga, kira-kira 20km dari Kota Banda Aceh.
Peristiwa horor itu terjadi 56 tahun silam, ketika huru-hara politik setelah peristiwa G30S 1965 melahirkan kekejaman brutal di Aceh.
Para elite PKI di provinsi itu — dalam beberapa kasus bersama keluarganya, anggota, simpatisan, atau semata-mata dikaitkan atau difitnah — diburu dan dibantai.
Tidak ada data resmi berapa jumlah yang mati dibunuh atau hilang di Aceh, meskipun dokumen militer yang beredar menyebut sekitar 2.000 orang. Ada pula yang memperkirakan korban pembantaian itu sekitar 3.000 jiwa.
Namun peneliti dari Australia, Jess Melvin, dalam penelitiannya yang dibukukan pada 2018 lalu (berjudul The Army and The Indonesian Genocide-Mechanics of Mass Murder — akan diterjemahkan dalam bahasa Indonesia pada Januari 2022), memperkirakan jumlahnya kemungkinan mencapai 10.000 jiwa.
Adapun Thaib Adamy, salah seorang pimpinan PKI di Aceh saat itu adalah salah satu target utamanya.
Setelah peristiwa G30S pada awal Oktober 1965, pria kelahiran kota Idi di pesisir timur Aceh ini ditangkap dalam perjalanan ke Takengon, Aceh Tengah. Lantas dia dieksekusi di Lhoknga.
"Dia tidak dipenggal [kepalanya]... tidak [dikubur] dalam lubang besar," ungkap salah-seorang anaknya, Setiady, dalam kesaksiannya kepada BBC News Indonesia, akhir Oktober 2021 lalu.
Setiady, anak keempat dari sembilan bersaudara ini, perlu sekian tahun untuk berani bersuara di hadapan publik.
Selama bertahun-tahun dia memilih mengubur dalam-dalam tragedi yang menimpa keluarganya.
Ketika diwawancarai peneliti asal Australia, Jess Melvin, tentang tragedi yang menimpa ayahnya sekian tahun lalu, dia masih menggunakan nama samaran, yaitu Ramli.
Tetapi, dalam wawancara khusus dengan BBC News Indonesia, pria kelahiran 1955 ini akhirnya bersedia membuka jati dirinya dan mengungkap peristiwa pahit kelam itu.
Diawali kontak dengan salah seorang sahabat ayahnya, pensiunan dosen di sebuah perguruan tinggi negeri di Kota Padang ini, akhirnya menyatakan bersedia diwawancarai.
"Sudah saatnya kebenaran diungkapkan," Ady — panggilannya — mengutarakannya kepada saya dan videografer Anindita Pradana. Kami bertemu di sebuah hotel di Kota Padang, Sumatera Barat. Lalu cerita pun mengalir.
Selama ini, nama Thaib Adamy seperti lenyap dari ingatan masyarakat Aceh. Namanya seakan-akan hilang, mirip momok menakutkan, semenjak tragedi 1965 dan selama rezim Orde Baru berkuasa.
Setelah Reformasi 1998, sosoknya mulai samar-samar muncul melalui buku Atjeh Mendakwa, yang berisi pledoi dirinya ketika diadili karena dituduh menghasut, dua tahun sebelum G30S. (Lihat boks di bawah).
Buku yang diterbitkan pada 1964 oleh PKI Aceh ini sudah beredar secara daring dan dapat diunduh.
Namun bagaimana kisah kematian Thaib Adamy, nasib istri serta anak-anaknya setelah tragedi itu, masih buram — sebelum Setiady akhirnya membeberkannya dalam wawancara ini.
Baca juga:
Kembali lagi ke peristiwa horor eksekusi atas Thaib Adamy di Lhoknga. Menurut Ady, ada percakapan terakhir antara sang algojo dan ayahnya beberapa menit sebelum eksekusi.
Dari beberapa algojo, ada satu orang yang disebutnya "anggota polisi militer" dan "memiliki hubungan saudara jauh" dengan ayahnya. "Mereka saling kenal baik," ungkap Ady.
Menjelang ditembak mati, Thaib disebutkan menyerahkan jam tangan buatan Rusia kepada sang calon algojo itu sebagai "kenang-kenangan".
Kisah jam tangan Rusia ini didapatkan Ady dari "salah-seorang kepercayaan" Usman Adamy — saudara ayahnya — ketika dia masih berusia 10 tahun, tidak lama setelah eksekusi tersebut.
Orang kepercayaan itu mendengar langsung ceritanya dari anggota militer yang mengawal dan terlibat dalam eksekusi terhadap ayahnya. Saat itu Adi masih duduk di bangku SD.
"Dia juga menunjukkan jam tangan buatan Rusia pemberian ayahnya," katanya," sebagai bukti."
Baca juga:
Melalui orang kepercayaan keluarga besar ayahnya itulah, Ady mendapat informasi bahwa sang algojo — yang memiliki hubungan saudara dengan ayahnya — sempat menawarkan Thaib Adamy supaya kabur.
"Abang lari sajalah, lari ke hutan dan menghilang. Saya akan menjamin," ungkap Ady, menirukan ucapan sang algojo.
Namun ayahnya menolak dan kemudian berujar: "Kalau kamu sayang saya, tembak kepala saya, dan kuburkan saya sendiri."
Pada malam jahanam itu Thaib memang tidak sendiri. Ada serombongan orang yang dituduh komunis dinaikkan truk dan digiring ke lubang pembantaian — leher mereka kemudian digorok satu persatu.
Lalu, "dor!" Dia kemudian dikuburkan secara tersendiri dan terpisah dari lubang yang sudah disiapkan bagi tahanan lainnya.
Kisah seperti ini tidak pernah disinggung dalam narasi seputar kekerasan pasca G30S 1965 di Aceh yang beredar selama ini. Bahkan ada sebagian informasinya bertolak belakang.
Kesaksian dan analisa sejarawan dari Universitas Syiah Kuala, Rusdi Sufi, dalam buku Malam Bencana 1965 Bagian Dua (2012) , menyebut Thaib Adamy "terbunuh" dan "dipancung".
"Thaib Adamy waktu akan dipancung dia minta disampaikan salam kepada Bung Karno dan meneriakkan Hidup Bung Karno," tulis Rusdi Sufi. Ini berbeda dengan keterangan Ady.
Dan menurut Ady, pada masa-masa penuh kekerasan setelah G30S itu, dia juga dijanjikan untuk diajak berziarah ke lokasi di mana jasad ayahnya dikuburkan.
"Tunggu kamu besar, nanti kita pergi ke kuburan ayahmu," ujar orang kepercayaan keluarga besar ayahnya. Mereka menyebut lokasinya di Lhoknga, tapi tanpa rincian.
Namun rencana ini tidak pernah terjadi. Ady dipaksa untuk 'melupakannya' lantaran dihadapkan tragedi lainnya. Ibunya, Samiah, ditangkap dan ditahan di Kota Medan, karena pilihan politik suaminya.
Baca juga:
Tulisan ini merupakan bagian dari liputan khusus Pembantaian massal 1965 di Aceh — Kisah Algojo, korban terlupakan dan upaya penyembuhan di situs BBC News Indonesia.
Anda juga bisa menyimak kisah ini di Siaran Radio Dunia Pagi Ini BBC Indonesia dan siniar kami di Spotify.
Produksi visual oleh Anindita Pradana. Grafis oleh tim jurnalis visual East Asia BBC News.
Wartawan Sinarpidie.co di Sigli, Aceh, Firdaus Yusuf berkontribusi sebelum dan selama liputan ini di kota Sigli, Aceh.
Sumber : BBC
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.