Riwayat Bedug, Penanda Datangnya Puasa dan Lebaran yang Kini Tergantikan Sidang Isbath
Khazanah | 19 April 2023, 10:18 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV- Penggunaan bedug sebagai penanda waktu salat, awal puasa dan lebaran saat ini sudah sangat jarang digunakan, apalagi di perkotaan. Ada beberapa masjid di Jakarta, misalnya, yang hingga kini masih menggunakan bedug.
Tapi ada juga yang sekadar pajangan dan tidak pernah digunakan saat masuk waktu salat. Fungsi pengeras suara sudah menggantikannya.
Berdasarkan catatan sejarah, bedug memang identik dengan masjid dan surau di nusantara. Snouck Hurgronje (1857-1936), seorang pejabat kolonial Belanda yang diberi tugas sebagai penasihat masalah agama, menceritakan bahwa bedug hal lazim di nusantara.
"Di desa-desa d Nusantara yang banyak pepohonan, azan tidak kedengaran sampai jauh, dan waktu ibadah itu diberi tahu dengan cara lain: pada kebanyakan masjid pribumi terdapat serambi dengan gendang, biasanya sepotong batang pohon yang ditutupi dengan kulit, di Jawa disebut bedug, di Sumatera tabuh," tulis Snouck (kumpulan karangan jilid IX, penerbit INIS).
Baca Juga: Semarak Final Lomba Bacatuk Dauh, Festival Menabuh Bedug Tradisi Warga Martapura
Selama bulan Ramadan, jelasnya, bedug dipukul dua kali sehari yaitu sebelum fajar menyingsing sebagai tanda untuk mereka yang akan berpuasa dan pada saat matahari tenggelam tanda berbuka.
Bukan hanya itu, pukulan bedug juga punya makna untuk mayoritas masyarakat termasuk yang tidak berpuasa, sebagai tanda berakhirnya bulan Ramadan. Orang Eropa di Nusantara, kata Snouck, menganggap hal itu sebagai tahun baru pribumi.
"Awal perayaan ini ditandai dengan memukul bedug sampai larut malam," katanya.
Wakil Perdana Menteri di era Orde Lama, Mohammad Roem (1908-1983) mengisahkan selama di Jakarta dia pun masih berpatokan pada bunyi bedug saat masuk puasa dan lebaran, sekitar tahun 1930-an.
Penulis : Iman Firdaus Editor : Gading-Persada
Sumber : Kompas TV