> >

Nafkah Suami Pada Istri

Beranda islami | 10 November 2020, 20:35 WIB
Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. (Foto: Agung Pribadi)

Kata nafkah berasal dari bahasa Arab yaitu, anfaqa, yunfiqu, infaqan, nafaqatan yang memiliki arti mengeluarkan, infaq berarti al mashruf wa al-infaq, atau biaya belanja, pengeluaran uang serta biaya hidup.

Lalu bagaimana Islam menetapkan kewajiban seorang suami dalam menafkahi istrinya?

Allah Subhanahu wa ta'ala berfirman,

“Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada istrinya dengan cara ma’ruf” (QS. Al Baqarah: 233).

Firman Allah yang di jadikan dalil kewajiban nafkah berupa tempat tinggal yaitu,

“Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu, dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka.” (QS Ath-Thalaq : 6).

Dan juga disebutkan di dalam ayat lain firman Allah yakni,

“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya” (QS. Ath Thalaq: 7).

Hal ini sesuai dengan sabda Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam :

“Dan wajib bagi mereka untuk memberikan rizqi serta pakaian kepada istri mereka dengan baik.” (HR Muslim : 1218).

Kemudian bagaimana pula dengan besaran nafkahnya? Dalam kitab Majmu 'Al Fatawa disebutkan,

Abul ‘Abbas Ibnu Taimiyah Rahimahullah pernah berkata, “yang tepat dan lebih benar sebagaimana yang dinyatakan oleh kebanyakan ulama bahwa, nafkah suami pada istri kembali pada kebiasaan masyarakat (kembali pada ‘urf) dan tidak ada besaran tertentu yang ditetapkan oleh syari’at. Nafkah itu berbeda sesuai dengan perbedaan tempat, zaman, keadaan suami istri dan adat yang ada.” (Majmu’ Al Fatawa, 34: 83)

Sehingga penafkahan yang lebih tepat dikembalikan pada kebiasaan dari masyarakat setempat karena tak adanya jumlah besaran yang pasti, dikarenakan Allah berikan setiap individu kemampuan serta latar belakang yang berbeda-beda, misalkan latar belakang tempat tinggal antara penduduk yang tinggal di perkotaan mungkin saja memiliki standard kemampuan yang berbeda dengan penduduk yang tinggal di wilayah pedesaan.

Mengutip penjelasan Ustadz Abul Aswad Al Bayati dari Bimbingan Islam yang menulis, bilamana suami tak mampu memberikan nafkah minimal kepada istrinya, sementara tidak ada sumber nafkah lain maka boleh bagi si istri untuk minta cerai.

Meskipun hal yang terbaik dilakukan adalah bersabar jika suami memang belum sanggup memenuhi kewajibannya memberikan nafkah karena lemahnya ekonomi.

Dalam sebuah fatwa mengenai kondisi dimana seorang wanita boleh mengajukan talak disebutkan,

“Seorang istri boleh ajukan talak jika ia mendapatkan madharat dari suaminya. Madharat ini memiliki bentuk yang bermacam macam diantaranya :

Tidak mampunya suami di dalam menunaikan hak hak bagi istri seperti nafkah, perlakuan yang baik, tempat tinggal dan yang lainnya.

Dijelaskan pula dalam kitab Al Mughni tulisan Ibnu Qudamah yang tertulis,

Secara global jika suami tidak mampu menafkahi istrinya karena kesulitan dan tidak ada yang menafkahi dia, maka si istri boleh memilih antara bersabar untuk tetap bersama suaminya atau berpisah dengannya.” (Sumber fatawa islamweb no. 116133).

 

Wallahu a’lam bish-shawab

Penulis : Agung-Pribadi

Sumber : Kompas TV


TERBARU