> >

Kembangkan Program Makmur, Petani Muda Cirebon Inisiasi Ekosistem Pertanian Masa Depan

Jawa barat | 6 Desember 2024, 18:10 WIB
Sepasang suami istri yang merupakan petani di Desa Leuwidingding, Kecamatan Lemahabang, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, menabur pupuk nonsubsidi nitrea pada wini bibit tanaman pagi, Sabtu (30/11/2024) siang. Keduanya bersama 80 petani Desa Leuwidingding menggunakan pola pertanian Program Makmur untuk meningkatkan hasil produksi. (Sumber: Muhamad Syahri Ramdoni/Kompas TV Cirebon)

CIREBON, KOMPAS.TV – Program “Makmur” yang dikembangkan sejumlah petani di Desa Leuwidingding, Kecamatan Lemahabang, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, membuahkan hasil.

Hasil panen 60 hektare sawah pada musim tanam ketiga di musim kemarau tahun 2024, melimpah ruah. Ekosistem pertanian yang berkesinambungan dari hulu ke hilir ini, menjadi jawaban atas ancaman perubahan iklim serta krisis pangan di masa mendatang. 

Momen kebahagiaan para petani itu terekam dalam kegiatan panen raya “Safari Makmur” yang berlangsung pada Jumat (29/11/2024) siang pekan lalu.

Sebagian besar petani bersama petugas Kementerian Pertanian, Kementerian BUMN, PT Pupuk Indonesia, PLN, Bank Indonesia, Bulog, serta masyarakat luas, tumpah ruah di area persawahan Desa Leuwidingding. 

Adalah Saefudin, salah satu sosok yang berada di balik keberhasilan ini. Di tengah keriuhan itu, petani muda yang masih berusia 25 tahun itu menyebut keberhasilan ini berkat penerapan pola pertanian dengan program Mari Kita Majukan Usaha Rakyat atau  “Makmur”.

Dia meninggalkan cara bertani “konservatif” dengan mengembangkan ekosistem pertanian yang berkesinambungan berbasis teknologi listrik.

Saefudin, yang menjadi Ketua Kelompok Tani Tunas Harapan mengungkapkan, dirinya serta para petani tidak asal tanam padi, melainkan melakukan serangkaian perawatan sejak hulu yakni saat sebelum penanaman, selama perawatan, hingga hilir yakni pada saat selesai panen. 

Penerapan program ini dimulai dari tahap pertama yakni uji kandungan Potential Hydrogen (pH) untuk memastikan tingkat keasaman atau kebasahan tanah.

Mereka dibantu tim uji tanah Pupuk Indonesia untuk mendapatkan angka sesuai yang dibutuhkan yakni kadar pH 7 demi memaksimalkan hasil pertanian.

“Kalau program Makmur, kita dicek dulu tanahnya, ada uji tanah untuk memastikan jumlah pH-nya berapa. Rata-rata di sini kan masih 7, berarti masih bagus. Kalau gak masuk, kurang dari tujuh, kita harus olah lahan dulu, dikasih kapur, pupuk, atau apa gitu,” kata Saefudin saat ditemui Kompas.tv pada Jumat (29/11/2024) siang. 

Pria yang menjabat Ketua Kelompok Tani Milenial ini juga menyebut, dirinya bersama sekitar 80 petani di Desa Leuwidingding, tak lagi bergantung sepenuhnya pada pupuk bersubsidi.

Mereka menggantinya secara bertahap dengan pupuk nonsubsidi. Pergeseran ini dilakukan setelah uji coba berulang kali yang ternyata menghasilkan percepatan pertumbuhan dan kesehatan tanaman padi secara maksimal. 

Di lokasi tersebut, Saefudin menunjukan hasil panen yang menggunakan pupuk nonsubsidi. Tanaman padi memiliki bulir yang penuh, segar, dan anakan banyak hingga membuat bobot berat.

Kondisi padi yang sehat ini, kata pria yang akrab disapa Aep itu, jarang ditemui bila menggunakan pupuk subsidi sepenuhnya. Tangkai tanaman padi relatif lebih kering, anakannya sedikit, rentan terserang kresek (penyakit/ hama).

Aep mengakui, harga pupuk nonsubsidi relatif lebih mahal, namun kandungan, manfaat, serta takaran penggunaannya jauh lebih efektif. Contohnya, untuk merawat padi seluas setengah hektare, Aep menggunakan sekitar satu kuintal pupuk nonsubsidi seharga Rp1 juta.

Sebelumnya, Aep menggunakan dua hingga tiga kuintal pupuk subdisi seharga Rp240.000 per satu kuintal.

Selama masa musim tanam ketiga di musim kemarau ini, Aep sudah tidak menggunakan diesel BBM, melainkan pompa listrik dari Bank Indonesia dan PLN.

Dia tidak lagi kesulitan air, seperti musim tanam tiga di akhir tahun 2023 lalu yang membuat mayoritas petani merugi. Penggunaan pompa listrik juga sangat menghemat biaya produksi para petani, dan tentunya lebih ramah lingkungan.

“Perbedaanya kalau pakai diesel, petani beli BBM Rp12.000 per jam atau Rp120.000 untuk 10 jam pengairan sawah. Sementara kalau pakai listrik Rp3.000 per jam atau cukup 5 jam pengairan. Berarti hanya Rp15.000 untuk membeli token,” kata Aep.

Dengan pompa listrik, Aep hanya mengeluarkan biaya pengairan sekitar Rp540.000 dalam satu musim tanam, dari yang biasanya menghabiskan biaya Rp3.600.000 untuk pembelian BBM. 

Hasil Panen yang Sejahterakan Petani

Aryono (53), anggota Kelompok Tani Tunas Harapan, mengaku sempat kaget saat kali pertama menggunakan pupuk nonsubsidi.

Dia yang terbiasa bertani seadaanya dengan mengandalkan sepenuhnya pupuk subsidi, melihat selisih pengeluaran cukup tinggi. Namun, Aryono akhirnya menyadari setelah mendapatkan hasil panen beberapa tahun terakhir.

Aryono sekarang mendapatkan enam ton dari sebelumnya empat ton dari satu hektare lahan sawahnya. Padi yang didapat dari program Makmur, dengan proses uji tanah, masa perawatan, serta penggunaan pupuk nonsubsidi, membuat Aryono untung berkali lipat. 

“Dari empat ton tuh, sekarang enam ton, masalah harga gak bohongin hasil. Pakai nonsubsidi juga sebetulnya irit. Jumlah yang biasa dipakai per hektare 6 kuintal pupuk subsidi. Ternyata pakai nonsubsidi 4 kuintal juga cukup, hasilnya juga lebih bagus,” kata dia. 

Yang membuat Aryono dan petani setempat bahagia dan tenang adalah kepastian penyerapan.

Penulis : Redaksi Kompas TV Editor : Edy-A.-Putra

Sumber : Kompas TV


TERBARU