Sosiolog UGM soal Perayaan Hari Tanpa Tembakau: Manfaat dan Risikonya Harus dengan Bukti Ilmiah
Jawa tengah dan diy | 3 Juni 2024, 02:00 WIBSLEMAN, KOMPAS.TV - Tembakau merupakan tanaman agraris yang telah lama menjadi bagian dari budaya Indonesia dan menghidupi banyak orang, terutama para petani.
Diskusi tentang manfaat dan risiko tembakau harus dilakukan dengan bukti ilmiah dan tidak dikuasai satu pihak tanpa mendengar suara petani.
Hal itu disampaikan Andreas Budi Widyanta, Sosiolog Universitas Gadjah Mada (UGM), dalam diskusi "Tribute to Kretek" di Sleman, DI Yogyakarta, Minggu (2/6/2024) untuk merespons perayaan Hari Tanpa Tembakau Sedunia setiap 31 Mei.
Baca Juga: Anthony Kiedis Libur Lebaran di Mentawai, Pamer Isap Tembakau Bareng Dua Sikerei
Andreas menjelaskan, tanaman tembakau yang kerap diolah sebagai kretek bukan hanya sebuah produk, tetapi simbol tradisi dan budaya yang telah membentuk identitas bangsa Indonesia selama berabad-abad.
Tanaman tembakau dan berbagai produknya memiliki peran penting dalam kehidupan jutaan warga Indonesia dan menjadikannya sebuah elemen kunci dalam struktur sosial dan ekonomi.
Menurut Andreas, tembakau juga membawa dampak signifikan terhadap perekonomian.
Data menunjukkan, kontribusi tembakau dan industrinya sangat besar terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan pemerintah daerah lewat dana bagi hasil cukai hasil tembakau.
“Fakta ini menegaskan bahwa tudingan yang menyebutkan bahwa tembakau dan kretek sebagai penyebab kesengsaraan harus ditinjau kembali dengan bukti-bukti nyata,” katanya.
Narasi tentang dampak kesehatan dari tembakau dan olahannya sering kali muncul dengan cara pandang yang berbeda.
“Kebenaran itu tidak bersifat tunggal. Dalam kehidupan yang penuh dengan keragaman, kita harus menghormati berbagai pandangan dan tetap berhak menyuarakan kebenaran yang diyakini,” imbuhnya.
Baca Juga: Polisi Gerebek Tempat Produksi Tembakau Sintetis di Jakarta Selatan
Andreas melanjutkan, penelitian-penelitian terbaru menunjukkan tembakau memiliki banyak manfaat dan membantah banyak tudingan tentang dampak negatifnya, bahkan menunjukkan bahwa argumen-argumen tersebut sering kali didorong oleh propaganda pihak tertentu.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau (Framework Convention on Tobacco Control, FCTC) memang telah mengendalikan regulasi tembakau secara global, namun beberapa negara adidaya belum meratifikasi FCTC.
"Bagaimana mungkin negara-negara tersebut bisa dengan mudahnya menekan Indonesia, yang memiliki sejarah panjang dengan tembakau dan kretek sebagai bagian dari peradabannya?" kata Andreas.
Menurutnya, perayaan hari tanpa tembakau merupakan propaganda buruk terhadap tembakau.
“Tembakau dan kretek itu membentuk hidup, kehidupan, dan penghidupan jutaan rakyat Indonesia, termasuk petani dan buruh. Jika ada tudingan tembakau dan kretek itu menyengsarakan, maka perlu dipertentangkan narasi itu dengan bukti yang sudah ada,” ungkapnya.
Adapun Koordinator Komite Nasional Pelestarian Kretek, Moddie Alvianto mempertanyakan perayaan hari tanpa tembakau sedunia di Indonesia.
Sebab Indonesia adalah negara yang memiliki kepentingan besar pada kehadiran tembakau. Puluhan juta orang hidup dan bergantung dari tanaman ini dan masyarakat kita telah hidup berdampingan dengan tembakau selama ratusan tahun.
Menurutnya, kampanye antitembakau akan berdampak pada petani tembakau dan buruh produk tembakau.
Baca Juga: Kota Semarang Terima Penghargaan Terbaik Kelola Dana Bagi Hasil Cukai Tembakau
“Jika para pemangku kebijakan itu mau turun ke ladang-ladang tembakau, mau menjenguk dan berinteraksi secara intensif dengan petani dan buruh-buruh pabrik rokok, mereka akan tahu jika industri hasil tembakau yang sering mereka regulasi dengan eksesif tersebut adalah berkah nyata bagi petani dan buruh," tutur dia.
Ia menyatakan, petani memiliki kedaulatan sendiri, termasuk dalam menentukan komoditas budidaya terutama yang mendukung peningkatan perekonomian.
"Petani itu orang yang organik. Mereka tidak perlu disuruh untuk tidak menanam tembakau. Asalkan ada tanaman lain yang punya serapan dan nilai jual tinggi, mereka pun akan dengan suka rela beralih,” ujar Moddie.
Penulis : Redaksi Kompas TV Editor : Deni-Muliya
Sumber : Kompas TV