> >

Saat Pelaku UMKM Berkumpul di Mangunan: Menebar Harmoni, Merajut Inspirasi

Jawa tengah dan diy | 1 Agustus 2023, 08:30 WIB
Seorang perempuan menunjukkan produk kerajinan berbahan anyaman bambu, di festival kewirausahaan di Desa mangunan, Bantul, Sabtu (29/7/2023). (Sumber: Kompas.TV/Kurniawan Eka Mulyana)

YOGYAKARTA, KOMPAS.TV –  Asap putih tipis mengepul dari salah satu masakan di atas kompor, tepat di sebelah kanan gerbang masuk area Panggung Sekolah Hutan Mangunan, Kecamatan Dlingo, Kabupaten Bantul.

Angin siang yang berembus pelan, membawa aroma beberapa jenis kuliner menyebar ke sekitar area itu, mengundang para pengunjung untuk sekadar menoleh sebentar, lalu melangkahkan kaki menuju meja dan kursi yang tertata rapi.

Tiga pria paruh baya duduk menghadap salah satu satu meja. Mereka menunggu pemilik warung mengantarkan kuliner pesanan mereka.

Riuh pengunjung yang berlalu-lalang beberapa meter dari tempat mereka duduk, seolah tak dihiraukan.

Tawa hangat mereka saat bercerita, sedikit mengurangi hawa dingin yang masih cukup terasa di tempat itu.

Ketiganya merupakan peserta festival kewirausahaan yang digelar di Desa Sejahtera Astra (DSA) Mangunan, Sabtu (29/7/2023), tempat puluhan pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) memamerkan produk, sekaligus bertransaksi dengan pembeli.

Tiga pria paruh baya itu menekuni bidang usaha yang sama, produsen minyak atsiri dengan bahan baku dari daerah sekitar tempat tinggal mereka.

Waldiyono, pria yang menurut kedua rekannya merupakan paling senior di antara mereka, mengeluarkan botol berukuran kecil.

“Aromanya khas banget, Mas, ini bahannya alami,” kata Waldiyono menunjukkan produk buatannya.

Sambil menunggu makanan pesanannya diantarkan, Waldiyono menceritakan proses pembuatan hingga bahan baku dan jumlah tenaga yang terlibat dalam produksi minyak atsiri.

Saat awal pandemi Covid-19 lalu, pesanan minyak atsiri meningkat, sehingga harganya pun naik daripada sebelumnya.

“Pandemi kemarin malah lebih laku. Gek (waktu) musim pandemi niku (itu) malah satu liter harganya Rp500 ribu sampai Rp600 ribu,” tuturnya.

Ia menggunakan sejumlah dedaunan dan rempah sebagai bahan baku, mulai dari daun serai, kayu putih, cengkeh, dan sejumlah bahan herbal lain.

Proses pembuatannya yakni dengan cara mengukus bahan baku tersebut selama tiga hingga empat jam, kemudian disuling.

Baca Juga: Pamerkan UMKM Jateng di Banjarmasin, Ganjar Berharap Lahirkan Kolaborasi antar Perajin

Hasil penyulingan berbagai bahan tersebut belum berupa minyak murni, karena masih bercampur dengan air.

“Nanti keluarnya minyak masih bercampur air, terus dipisahkan lagi pakai saringan khusus,” kata dia.

Dalam proses pembuatan, khususnya penyedia bahan baku, Waldiyono mengaku ada 360 petani di sekitar tempat tinggalnya yang menjadi pemasok.

“Ada pendampingan dari Astra untuk bibit, cara tanam, sampai packaging. Sementara untuk pemasaran belum ya, soalnya kami baru dua tahun didampingi,” rekan Waldiyono yang bernama Toyiban menimpali.

Hasil penyulingan minyak atsiri tersebut menyisakan limbah padat dan cair, yang keduanya dapat dimanfaatkan kembali.

Limbah cair dapat dimanfaatkan sebagai pestisida alami, sedangkan limbah padatnya dapat dijadikan pupuk kompos.

Pembicaraan terhenti saat pemilik warung datang membawakan makanan pesanan ketiganya.

Libatkan Pembatik dari Kota Batu

Hanya berjarak sekitar 20 meter dari ketiga pria tersebut menikmati sajian kuliner, seorang perempuan paruh baya terlihat menata kerajinan berbahan anyaman bambu.

Dua wisatawan mancanegara berdiri tidak jauh dari perempuan itu. Mereka nampak tertarik pada kerajinan di lapak wanita itu.

Mereka berbincang satu sama lain sambil memperhatikan beberapa barang kerajinan.

Dari kejauhan, ketiganya tampak saling berbincang, namun tak terdengar apa yang dibicarakan. Lalu, perempuan itu membungkus dua kerajinan yang tadi dipegang oleh si bule.

Suara musik terdengar dari panggung sekolah hutan yang terletak hanya beberapa puluh meter dari tempat itu.

Dua perempuan di stand Komunitas Pembatik Cilik dalam kegiatan festival kewirausahaan yang digelar di Desa Mangunan, Bantul, Sabtu (29/7/2023). (Sumber: Kompas.TV/Kurniawan Eka Mulyana)

Seorang perempuan berhijab dan kacamata terlihat ramah bercengkrama dengan sejumlah pengunjung. Sesekali senyum merekah menghiasi wajahnya yang semringah.

Perempuan itu adalah Anjani Sekararum, pencetus motif batik Banteng Agung di Kota Batu, Jawa Timur.

Kedatangan Anjani ke tempat itu bukan tanpa sebab. Ia merupakan penggerak kewirausahaan DSA Mangunan.

Di kampung halamannya, Anjani bukan sekadar memroduksi kain batik. Ia menciptakan motif batik sekaligus meregenerasi para pembatik cilik.

“Jadi kita nggak sekadar memproduksi batik tapi kita menciptakan motif batik khas Kota Btu yang sudah diangkat menjadi ciri khas, sudah dipatenkan,” kata peraih Satu Indonesia Award (SIA) Bidang Kewirausahaan ini.

“Saya sebagai pencipta motif batik Banteng Agung, di mana sekarang motif itu sudah menjadi motifnya para pembatik Kota Batu, bukan hanya Anjani Batik yang bisa memproduksi.”

Pada tahun 2013, Anjani mencoba meregenerasi pembatik dengan membuat komunitas pembatik cilik. Kala itu anggotanya hanya 18 orang.

Anjani pun berkoordinasi dengan pemerintah daerah setempat untuk mendapatkan dukungan melestarikan sekaligus melakukan regenerasi pembatik.

“Setelah kita melakukan koordinasi dengan pihak pemda, dan akhirnya pihak pemda men-support kegiatan kita,” tuturnya mengenang.

“Sekarang pembatik ciliknya udah sampai 700, karena di setiap sekolah diwajibkan ada ekstrakurikuler membatik,” tambahnya.

Ia terdiam sejenak, kemudian melanjutkan kisahnya.

Dulu, ia merasa cukup kesulitan saat akan belajar membatik. Penyebabnya, ia tidak tahu harus belajar di mana dan pada siapa.

Anjani tak ingin pengalamannya tersebut kembali dialami oleh generasi muda saat ini, mengingat batik merupakan warisan budaya dari para pendahulu.

Oleh sebab itu, Anjani mengaku tidak mau hanya memproduksi batik tanpa mewariskan keahlian itu pada generasi di bawahnya.

“Kalau kita mikirnya hanya memproduksi, sedangkan kita mencari tenaga pembatik itu susah, dan di era saya belajar membatik itu sangat bingung mau belajar di mana,” tuturnya.

“Saya nggak ingin yang terjadi di era saya terjadi di zaman sekarang.”

Kini, Anjani tak lagi khawatir kekurangan pembatik di masa depan. Sebab, ratusan siswa sekolah di daerahnya sudah memiliki keterampilan itu.

Ia pun tak ingin menyimpan sendiri keahliannya dalam berwirausaha dan memaksimalkan produk lokal. Anjani berniat menularkan pada pelaku usaha lain dengan menjadi penggerak DSA.

Pembicaraan kembali terhenti. Anjani harus mengikuti kegiatan talk show di atas panggung. Setelah berpamitan menyapa seorang pria yang tadi duduk di sampingnya, ia pun menuju panggung.

Hadirkan Pegiat Lingkungan

Suara musik masih terdengar jelas di tempat itu. Pria yang tadi duduk di samping Anjani menyapa tak kalah ramahnya.

Rupanya dia juga merupakan salah satu penerima SIA, tapi berbeda dengan Anjani, pria bernama Trisno tersebut merupakan peraih penghargaan di bidang lingkungan pada tahun 2015 lalu.

Trisno merupakan warga Dusun Tanon, Desa Ngrawan, Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang, Jawa tengah, yang dikenal dengan  Desa Menari sejak tahun 2012.

Seorang perempuan menunjukkan produk alat bantu difabel di festival kewirausahaan di Desa Mangunan, Kabupaten Bantul, Sabtu (29/7/2023). (Sumber: Kompas.TV/Kurniawan Eka Mulyana)

“Menari itu ada dua hal, secara turun-temurun masyarakat di lereng Gunung Telomoyo, beberapa desa itu pelaku kesenian tari rakyat,” katapria yang akrab disapa kang Tris tersebut.

Tapi, lanjut Trisno, Menari dalam artian yang lebih luas merupakan akronim dari Menebar Harmoni, Merajut Inspirasi.

Sedangkan kata ‘Desa’, sengaja diambil dari Bahasa Sansekerta, ‘Des’, yang berarti kerajaan.

“Kita ingin masyarakat itu berdaulat seperti kerajaan yang bisa mandiri, mengatur dirinya sendiri dengan berbagai potensi yang ada.”

Awalnya, kata Trisno, ia bergerak di bidang konservasi, yakni konservasi profesi asli masyarakat, konservasi dolanan tradisional, dan konservasi kesenian lokal.

Setelah mengemban amanh empat pilar KBA, yakni pendidikan, kesehatan, kewirausahaan, dan lingkungan, ia pun lebih bisa memetakan pengembangan kampung ke arah empat segmen tersebut.

“Misalnya di pendidikan, sekarang kita punya ruang diskusi yang rutin kita selenggarakan, kemudian anak-anak banyak yang dapat beasiswa.”

“Tingkat pendidikan yang dulu tempat kami itu peternak, petani, yang dulu rata-rata lulus SMP sudah cukup, sekarang sudah banyak yang kuliah,” tuturnya.

Saat ini, untuk memberdayakan masyarakat lokal sekaligus memperkenalkan potensi daerahnya, Desa Menari menyiapkan sejumlah paket wisata ndeso atau pedesaan.

“Ada Sinau Urip Ndeso, kemudian Outbond Ndeso. Outbond Ndeso itu dilakukan di pedesaan dengan aktivitas ala desa, pemandu juga orang desa.”

“Kita menyinergikan dolanan tradisional dan sebagainya,” imbuhnya.

 

 

Penulis : Kurniawan Eka Mulyana Editor : Vyara-Lestari

Sumber : Kompas TV


TERBARU