> >

Kerukunan Umat Beragama di Pedukuhan Kaki Gunung Lawu, Terbentuk dari Pengalaman Hidup

Jawa tengah dan diy | 23 Maret 2023, 13:03 WIB
Pesan tertulis yang ditempel di rumah seorang warga penganut Hindu, di Pedukuhan Jlono, Desa Kemuning, Kecamatan Ngargoyoso, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah, Rabu (22/3/2023). (Sumber: Kompas.id/NINO CITRA ANUGRAHANTO)

KOMPAS.TV – Pedukuhan Jlono, di Desa Kemuning, Kecamatan Ngargoyoso, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah tak menunjukkan aktivitas seperti biasanya pada Rabu (22/3/2023).

Pedukuhan yang hanya berjarak dalam radius 8 kilometer dari puncak Gunung Lawu itu tengah menjalani ibadah tapa brata penyepian.

Menariknya, memang tak semua warga di pedukuhan itu beragama Hindu, namun warga yang beragama lain turut bersedia mendukung kelancaran ibadah Nyepi di sana sebagai bentuk toleransi.

Melansir dari Kompas.id, setidaknya jumlah warga di pedukuhan tersebut mencapai 200 orang. Sekitar 35 persen di antaranya merupakan pemeluk agama Hindu.

Sisanya terdiri dari warga beragama Islam dan Kristen. Mereka itulah yang secara sadar melaksanakan penjagaan dan ronda selama umat Hindu menjalani ibadah tapa brata penyepian di Pura Jonggol Shanti Loka yang letaknya di ujung pedukuhan.

Tampak tiga pria keluar dari rumahnya. Mereka segera saja berjalan kaki mengelilingi kampung yang sedang sunyi senyap. Tak terdengar sama sekali suara aktivitas warga.

Ketiga pria tersebut melangkahkan kaki pelan-pelan. Mereka enggan membikin kegaduhan. Mata mereka begitu awas mengamati setiap rumah yang dilewati.

Baca Juga: Hormati Nyepi, Umat Muslim di Bekasi Tarawih Perdana dalam Suasana Hening

Mereka ingin memastikan bahwa pintu-pintu rumah tersebut telah dikunci rapat oleh para pemiliknya.

“Ini sudah menjadi tradisi di pedukuhan kami setiap kali perayaan Nyepi. Banyak warga melakukan ibadah menyepinya di pura setempat sehingga rumahnya ditinggalkan kosong. Warga yang beragama lain membantu berjaga sampai ibadah menyepi selesai,” kata Wakil RT 001 RW 015 Pedukuhan Jlono, Cipto (47), yang ikut berkeliling sore itu.

Ia menuturkan, semakin malam jumlah warga yang ikut berjaga semakin banyak. Ketika siang hari, rata-rata warga masih bekerja.

Malam harinya, seluruh warga juga sudah menyepakati mematikan lampu jalan sampai ibadah penyepian rampung. Untuk itu, penjagaan dan ronda malam semakin terasa penting.

“Ini untuk menghargai teman-teman Hindu yang sedang menyepi. Kan, itu benar-benar harus mati lampu. Walau lampu dimatikan, tetap ada teman-teman yang berjaga seperti ronda di sepanjang jalan. Memang, ada satu-dua rumah yang masih menyalakan lampu, itu biasanya karena punya anak-anak,” jelasnya.

Baca Juga: Jokowi Ucapkan Selamat Hari Raya Nyepi 2023, Umat Hindu Lakukan Catur Brata Penyepian

Volume pengeras suara masjid pun dikurangi

Tak hanya itu, Cipto juga bahkan sudah berkoordinasi dengan pengurus masjid setempat untuk mengurangi volume pengeras suara. Mengingat, pelaksanaan tapa brata penyepian berbarengan juga dengan salat tarawih pertama bagi umat Muslim yang memasuki masa Ramadan.

Ia tak mempermasalahkan kondisi tersebut karena warga setempat telah terbiasa menghormati adanya perbedaan. Semuanya tinggal saling menyesuaikan saja.

Misalnya, saat tiba waktunya umat Muslim merayakan Idul Fitri, umat Hindu giliran membantu menjaga ketika sesamanya tengah shalat bersama. Hal sama berlaku bagi umat Kristen.

“Itu namanya toleransi. Kerukunan itu sudah kita jaga. Perbedaan itu, kan, waktu sedang beribadah saja. Selebihnya, kita sama-sama umat manusia yang saling membutuhkan juga. Maka, saya agak heran jika di tempat-tempat lain masih ada yang bertengkar karena agama,” kata Cipto.

Toleransi tumbuh dari pengalaman

Pemangku Pura Jonggol Shanti Loka Gimanto mengungkapkan, sebenarnya umat Hindu tidak pernah menuntut agar warga setempat memahami mereka yang sedang menjalankan penyepian.

Baca Juga: Hari Raya Nyepi di Indonesia: 1.466 Narapidana Hindu Terima Remisi, 3 di Antaranya Langsung Bebas

Menurutnya, kepedulian warga tumbuh secara alami. Kemunculan toleransi tersebut didorong oleh pengalaman hidup bersama sekian lama.

Kebiasaan saling jaga juga muncul begitu saja hingga menjadi tradisi kampung tersebut.

Lebih lanjut, tutur Gimanto, terdapat kebiasaan anjangsana, atau silaturahmi, ke rumah warga setempat lainnya setelah selesai ibadah penyepian.

 Dalam kesempatan itu, mereka memohon maaf apabila sepanjang tahun memiliki banyak kesalahan. Mirip seperti silaturahmi saling memaafkan ketika perayaan Idul Fitri.

Oleh karena itu, sampai muncul ungkapan, warga pedukuhan tersebut bisa merayakan Lebaran dua kali dalam setahun.

“Kami sadar, kami hidup bukan dengan orang Hindu saja. Kami juga hidup dengan orang-orang lain yang bukan beragama Hindu saja. Kita semua saling bersinggungan dan mungkin juga berbuat salah. Jadi, kami juga memohon maaf kepada warga beragama lainnya,” kata Gimanto, Selasa (21/3/2023).

Namun, momen anjangsana tersebut ditunda pelaksanaannya. Sebab, selesainya penyepian bersamaan dengan dimulainya hari pertama puasa.

Gimanto khawatir jika niat baik dari anjangsana justru mengganggu sesama yang sedang menjalankan ibadah tersebut. Menurut rencana, anjangsana akan dilaksanakan berbarengan pada waktu Idul Fitri nanti.

Penulis : Fransisca Natalia Editor : Iman-Firdaus

Sumber : Kompas TV


TERBARU