> >

Kerukunan Umat Beragama di Pedukuhan Kaki Gunung Lawu, Terbentuk dari Pengalaman Hidup

Jawa tengah dan diy | 23 Maret 2023, 13:03 WIB
Pesan tertulis yang ditempel di rumah seorang warga penganut Hindu, di Pedukuhan Jlono, Desa Kemuning, Kecamatan Ngargoyoso, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah, Rabu (22/3/2023). (Sumber: Kompas.id/NINO CITRA ANUGRAHANTO)

Baca Juga: Jokowi Ucapkan Selamat Hari Raya Nyepi 2023, Umat Hindu Lakukan Catur Brata Penyepian

Volume pengeras suara masjid pun dikurangi

Tak hanya itu, Cipto juga bahkan sudah berkoordinasi dengan pengurus masjid setempat untuk mengurangi volume pengeras suara. Mengingat, pelaksanaan tapa brata penyepian berbarengan juga dengan salat tarawih pertama bagi umat Muslim yang memasuki masa Ramadan.

Ia tak mempermasalahkan kondisi tersebut karena warga setempat telah terbiasa menghormati adanya perbedaan. Semuanya tinggal saling menyesuaikan saja.

Misalnya, saat tiba waktunya umat Muslim merayakan Idul Fitri, umat Hindu giliran membantu menjaga ketika sesamanya tengah shalat bersama. Hal sama berlaku bagi umat Kristen.

“Itu namanya toleransi. Kerukunan itu sudah kita jaga. Perbedaan itu, kan, waktu sedang beribadah saja. Selebihnya, kita sama-sama umat manusia yang saling membutuhkan juga. Maka, saya agak heran jika di tempat-tempat lain masih ada yang bertengkar karena agama,” kata Cipto.

Toleransi tumbuh dari pengalaman

Pemangku Pura Jonggol Shanti Loka Gimanto mengungkapkan, sebenarnya umat Hindu tidak pernah menuntut agar warga setempat memahami mereka yang sedang menjalankan penyepian.

Baca Juga: Hari Raya Nyepi di Indonesia: 1.466 Narapidana Hindu Terima Remisi, 3 di Antaranya Langsung Bebas

Menurutnya, kepedulian warga tumbuh secara alami. Kemunculan toleransi tersebut didorong oleh pengalaman hidup bersama sekian lama.

Kebiasaan saling jaga juga muncul begitu saja hingga menjadi tradisi kampung tersebut.

Lebih lanjut, tutur Gimanto, terdapat kebiasaan anjangsana, atau silaturahmi, ke rumah warga setempat lainnya setelah selesai ibadah penyepian.

 Dalam kesempatan itu, mereka memohon maaf apabila sepanjang tahun memiliki banyak kesalahan. Mirip seperti silaturahmi saling memaafkan ketika perayaan Idul Fitri.

Oleh karena itu, sampai muncul ungkapan, warga pedukuhan tersebut bisa merayakan Lebaran dua kali dalam setahun.

“Kami sadar, kami hidup bukan dengan orang Hindu saja. Kami juga hidup dengan orang-orang lain yang bukan beragama Hindu saja. Kita semua saling bersinggungan dan mungkin juga berbuat salah. Jadi, kami juga memohon maaf kepada warga beragama lainnya,” kata Gimanto, Selasa (21/3/2023).

Namun, momen anjangsana tersebut ditunda pelaksanaannya. Sebab, selesainya penyepian bersamaan dengan dimulainya hari pertama puasa.

Penulis : Fransisca Natalia Editor : Iman-Firdaus

Sumber : Kompas TV


TERBARU