Kisah Trimah, Ibu Difabel yang Membatik dan Merawat Anak dengan Kaki
Sosial | 22 Desember 2022, 07:10 WIBYOGYAKARTA, KOMPAS.TV – Seorang ibu selalu berusaha menjadi pahlawan untuk keluarga dan anak-anaknya, bahkan saat fisik mereka mempunyai keterbatasan.
Sore menjelang senja, sinar matahari menerpa tembok depan rumah Trimah (32), di Jalan Gabus, Perumahan Minomartani, Kecamatan Concongcatur, Kabupaten Sleman, Daerah istimewa Yogyakarta.
Suara anak kecil yang sedang bermain, terdengar samar di sela suara musik yang mengalun dari dalam rumah.
Setelah beberapa kali mengetuk pintu rumah itu, Trimah pun membuka pintu dan dengan ramah menyilakan masuk.
Asap putih tipis terlihat mengepul dari malam panas di atas wajan kecil, tepat di depan pintu masuk rumah tersebut.
Api dari kompor kecil di bawah wajan, terlihat seperti berkedip-kedip, mengiringi aroma khas malam yang masuk ke rongga penciuman.
Beberapa botol bekas air kemasan berdiri tidak jauh dari malam itu, di samping kain yang sebagian sudah terlapisi malam.
Bercak-bercak sisa malam dan pewarna masih tersisa di lantai rumah Trimah, seperti menjadi saksi kegigihannya sebagai ibu rumah tangga sekaligus perajin batik.
Seorang anak laki-laki berusia 2,5 tahun muncul dari ruangan dalam rumah, dan mendekati Trimah, sang ibu.
Trimah merupakan seorang perempuan difabel tangguh. Sejak kecil aktivitasnya dilakukan menggunakan kedua kakinya, termasuk makan, mandi, bahkan membatik dan merawat anak satu-satunya.
“Saya difabel sejak lahir, jadi semuanya saya kerjakan pakai kaki,” kata Trimah saat ditemui di rumahnya, Rabu (21/12/2022).
Sejak lulus sekolah menengah atas (SMA) tahun 2010, Trimah bertekad untuk memiliki keterampilan, sebab ia merasa kondisi tubuhnya yang memiliki keterbatasan akan sulit mendapatkan pekerjaan.
“Karena kalau untuk bekerja di instansi atau di luaran kan belum banyak yang bisa menampung yang disabilitas, terutama tangan ya,” kenangnya.
Tekadnya untuk memiliki keterampilan tersebut mendapat dukungan penuh dari orangtuanya.
Mulai Bergelut dengan Canting dan Malam Panas
Kala itu Trimah sudah tertarik dan penasaran pada kerajinan batik. Ia pun memiliki niat untuk belajar membatik sebagai salah satu keterampilan.
Sepengetahuannya, untuk membatik harus menggunakan canting dan malam panas. Ia semakin penasaran, dan berpikir apakah membatik dapat dilakukan menggunakan jari kaki.
Hanya saja, waktu itu Trimah tidak berpikir bahwa keterampilan membatik dapat memberikannya penghasilan.
“Terus saya mulai belajar membatik. Awalnya sebenarnya saya juga tidak tahu kalau membatik itu bisa peluang untuk mendapatkan materi,” tuturnya.
Baca Juga: Di Balik Tembok Bangunan Lawas Pecinan Sebelah Utara Gunung Sumbing
Keinginannya untuk memiliki keterampilan membatik waktu itu hanya karena ia merasa senang bisa berkunjung ke kota lain dan bertemu banyak orang dengan batik.
Seiring berjalannya waktu, keinginannya untuk belajar membatik pun kesampaian. Trimah bersama tiga rekannya dari salah satu pusat rehabilitasi difabel mendapat kesempatan belajar membatik.
“Kebetulan saya kan dari pusat rehabilitasi Yakkum.”
Tapi ternyata belajar membatik tidak mudah, bahkan Trimah mengalami sejumlah kendala pada tahap awal, yakni tahap pembuatan pola.
Trimah merasa cukup kesulitan pada awalnya. Upayanya menggambar pola di kain persegi seukuran sapu tangan pun tidak membuahkan hasil.
“Satu kain bentuk persegi untuk sapu tangan, polanya saya membatik hanya bentuk titik-titik malam yang netes, enggak ada polanya satu pun,” kata Trimah.
“Waktu itu ada empat orang yang belajar, yang bisa tiga orang, sementara saya yang pengen sekali malah tidak bisa.”
Ia menghabiskan waktu hingga sebulan untuk membuat pola, padahal rekan-rekannya hanya perlu waktu antara satu hingga dua pekan.
Tapi, tekadnya yang kuat ternyata mampu mengalahkan semua kesulitan dan kendala yang dihadapi. Trimah pun mulai membatik dan memproduksi batik samparan pada tahun 2014.
Nama batik samparan tersebut merupakan ide dari sang paman, karena proses produksinya menggunakan kaki, seperti disampar atau ditendang.
Batik Samparan Terbang ke Jerman
Keteguhan hati Trimah dalam membatik perlahan membuahkan hasil, meski terkadang masih mengalami kesulitan, karena seluruh proses membatik dilakukannya sendiri, mulai dari menorehkan malam hingga pewarnaan.
Bahkan untuk pemasarannya pun Trimah melakukannya sendiri dengan cara mengunggah batik hasil karyanya ke media sosial, seperti Facebook dan Instagram.
Dalam membatik, Trimah tidak menggunakan pola seperti perajin batik pada umumnya. Ia menorehkan langsung malam panas ke kain putih yang sudah disiapkan.
“Kebetulan batik samparan sendiri nggak pakai pola. Jadi, malam panas langsung saya gores ke kain putih. Kalau sudah itu baru diwarnai,” jelasnya.
Trimah juga mengaku terkendala dengan waktu dan mood, sehingga jumlah batik karyanya tidak menentu.
Dalam sebulan terkadang ia memproduksi batik samparan sebanyak enam lembar, tapi tak jarang ia hanya memproduksi dua lembar.
Terlebih setelah ia melahirkan, otomatis waktunya semakin terbagi untuk merawat sang buah hati dan membatik.
Hal itu pula yang menyebabkan Trimah menolak tawaran beberapa rekannya untuk turut memasarkan batik miliknya.
Penolakannya lebih disebabkan Trimah khawatir tidak mampu menyelesaikan pesanan jika terlalu banyak.
“Kalau saya (kendalanya) waktu. Kalau untuk penjualan sendiri sebenarnya banyak pihak yang mau menjualkan, mereka bilangnya ini batik eksklusif.”
Trimah memang hanya membuat satu motif untuk dua hingga tiga lembar batik.
Ia mematok harga Rp800 ribu untuk tiap lembar kain batik produksinya yang berukuran sekitar 200x115 sentimeter.
Harga tersebut sebanding dengan kualitas dan waktu yang digunakannya untuk membuat batik, dan hasilnya batik samparan buatannya telah terjual hingga ke Jepang dan Jerman.
“Pembelinya pernah dari Jepang dan Jerman. Itu lewat jejaring Facebook dan teman-teman di luar negeri. Mereka tahu kan saya punya keterampilan membatik, terus mereka penasaran dan pesan,” kata Trimah.
Bagi Waktu untuk Anak dan Batik
Kegiatan Trimah memroduksi batik samparan sempat terhenti selama lebih dari setahun, tepatnya setelah ia melahirkan anak pertama 2,5 tahun lalu.
Sang anak lahir prematur dan bertepatan dengan awal pandemi Covid-19. Kala itu, kegiatan produksi batiknya dihentikan total, dan fokus mengurus anak.
“Dulu waktu melahirkan kan kebetulan anak saya prematur, dan waktu itu masa-masa awal Covid, jadi saya total momong (merawat) anak, saya berhenti total membatik selama satu tahun lebih.”
Setelah anaknya sudah bisa berjalan, Trimah kembali bergelut dengan kain batik dan malam panas, meskipun harus membagi waktunya dengan sang buah hati.
Keterbatasan fisik Trimah tidak menyebabkan tugasnya sebagai seorang ibu terbengkalai.
Trimah menggunakan kakinya untuk memandikan, menyuap, bahkan memakaikan pakaian untuk buah hatinya.
Beberapa rekannya, kata Trimah, sempat menanyakan bagaimana cara dia merawat sang buah hati dengan keterbatasannya.
“Pakai kaki semua, dan kalau ditanya ‘Piye rasane’ (bagaimana rasanya), saya enggak tahu, karena semua berjalan.”
“Orang membayangkan anak prematur dimomong pakai tangan saja susah ya, Mas, saya pakai kaki dari awal dia keluar rumah sakit sampai detik ini,” tuturnya.
Sejak sebelum melahirkan, Trimah yang memang suka pada anak-anak ini sudah terbiasa merawat keponakan dan sepupunya.
“Cuma kan kalau anak orang saya kan enggak bisa kayak anak sendiri. Kalau anak sendiri kan saya bisa mengekspresikan, kayak gini caranya.”
Sang anak pun cukup mengerti keterbatasan fisik kedua orangtuanya, sehingga ia bisa menempatkan diri kapan harus dilayani oleh sang ibu dan kapan dilayani oleh sang ayah.
“Kebetulan anak saya juga pengertian, saya pakai kaki, bapaknya pakai tangan. Dia bisa menempatkan diri harus sama siapa.”
Penulis : Kurniawan Eka Mulyana Editor : Hariyanto-Kurniawan
Sumber : Kompas TV