Kisah Trimah, Ibu Difabel yang Membatik dan Merawat Anak dengan Kaki
Sosial | 22 Desember 2022, 07:10 WIBNama batik samparan tersebut merupakan ide dari sang paman, karena proses produksinya menggunakan kaki, seperti disampar atau ditendang.
Batik Samparan Terbang ke Jerman
Keteguhan hati Trimah dalam membatik perlahan membuahkan hasil, meski terkadang masih mengalami kesulitan, karena seluruh proses membatik dilakukannya sendiri, mulai dari menorehkan malam hingga pewarnaan.
Bahkan untuk pemasarannya pun Trimah melakukannya sendiri dengan cara mengunggah batik hasil karyanya ke media sosial, seperti Facebook dan Instagram.
Dalam membatik, Trimah tidak menggunakan pola seperti perajin batik pada umumnya. Ia menorehkan langsung malam panas ke kain putih yang sudah disiapkan.
“Kebetulan batik samparan sendiri nggak pakai pola. Jadi, malam panas langsung saya gores ke kain putih. Kalau sudah itu baru diwarnai,” jelasnya.
Trimah juga mengaku terkendala dengan waktu dan mood, sehingga jumlah batik karyanya tidak menentu.
Dalam sebulan terkadang ia memproduksi batik samparan sebanyak enam lembar, tapi tak jarang ia hanya memproduksi dua lembar.
Terlebih setelah ia melahirkan, otomatis waktunya semakin terbagi untuk merawat sang buah hati dan membatik.
Hal itu pula yang menyebabkan Trimah menolak tawaran beberapa rekannya untuk turut memasarkan batik miliknya.
Penolakannya lebih disebabkan Trimah khawatir tidak mampu menyelesaikan pesanan jika terlalu banyak.
“Kalau saya (kendalanya) waktu. Kalau untuk penjualan sendiri sebenarnya banyak pihak yang mau menjualkan, mereka bilangnya ini batik eksklusif.”
Trimah memang hanya membuat satu motif untuk dua hingga tiga lembar batik.
Ia mematok harga Rp800 ribu untuk tiap lembar kain batik produksinya yang berukuran sekitar 200x115 sentimeter.
Harga tersebut sebanding dengan kualitas dan waktu yang digunakannya untuk membuat batik, dan hasilnya batik samparan buatannya telah terjual hingga ke Jepang dan Jerman.
“Pembelinya pernah dari Jepang dan Jerman. Itu lewat jejaring Facebook dan teman-teman di luar negeri. Mereka tahu kan saya punya keterampilan membatik, terus mereka penasaran dan pesan,” kata Trimah.
Bagi Waktu untuk Anak dan Batik
Kegiatan Trimah memroduksi batik samparan sempat terhenti selama lebih dari setahun, tepatnya setelah ia melahirkan anak pertama 2,5 tahun lalu.
Sang anak lahir prematur dan bertepatan dengan awal pandemi Covid-19. Kala itu, kegiatan produksi batiknya dihentikan total, dan fokus mengurus anak.
“Dulu waktu melahirkan kan kebetulan anak saya prematur, dan waktu itu masa-masa awal Covid, jadi saya total momong (merawat) anak, saya berhenti total membatik selama satu tahun lebih.”
Setelah anaknya sudah bisa berjalan, Trimah kembali bergelut dengan kain batik dan malam panas, meskipun harus membagi waktunya dengan sang buah hati.
Keterbatasan fisik Trimah tidak menyebabkan tugasnya sebagai seorang ibu terbengkalai.
Trimah menggunakan kakinya untuk memandikan, menyuap, bahkan memakaikan pakaian untuk buah hatinya.
Beberapa rekannya, kata Trimah, sempat menanyakan bagaimana cara dia merawat sang buah hati dengan keterbatasannya.
“Pakai kaki semua, dan kalau ditanya ‘Piye rasane’ (bagaimana rasanya), saya enggak tahu, karena semua berjalan.”
“Orang membayangkan anak prematur dimomong pakai tangan saja susah ya, Mas, saya pakai kaki dari awal dia keluar rumah sakit sampai detik ini,” tuturnya.
Sejak sebelum melahirkan, Trimah yang memang suka pada anak-anak ini sudah terbiasa merawat keponakan dan sepupunya.
“Cuma kan kalau anak orang saya kan enggak bisa kayak anak sendiri. Kalau anak sendiri kan saya bisa mengekspresikan, kayak gini caranya.”
Sang anak pun cukup mengerti keterbatasan fisik kedua orangtuanya, sehingga ia bisa menempatkan diri kapan harus dilayani oleh sang ibu dan kapan dilayani oleh sang ayah.
“Kebetulan anak saya juga pengertian, saya pakai kaki, bapaknya pakai tangan. Dia bisa menempatkan diri harus sama siapa.”
Penulis : Kurniawan Eka Mulyana Editor : Hariyanto-Kurniawan
Sumber : Kompas TV