Perajin Keris Ki Empu Sungkowo, Melipat Besi Melukis Pamor dalam Temaram
Sosial | 13 September 2022, 06:10 WIBYOGYAKARTA, KOMPAS.TV – Pembuatan sebilah keris berpamor membutuhkan waktu yang tidak sebentar dan bahan baku besi serta nikel yang beratnya bisa mencapai puluhan kilogram.
Dua pria paruh baya tampak serius menempa batang besi berwarna orange kemerahan. Ki Empu Sungkowo Harumbrodjo duduk di sebelah kiri sambil memegang batang besi panas menggunakan penjepit.
Ki Empu Sungkowo Harumbrodjo merupakan empu atau pembuat keris keturunan ketujuh belas dari Empu Supa, pembuat keris Kerajaan Majapahit, sekaligus dapat dikatakan sebagai penerus warisan budaya.
Sementara, pria paruh baya lainnya, yang merupakan karyawan atau anak buah Empu Sungkowo, berdiri sambil memegang martil besar.
Urat-urat tampak menonjol pada lengan dan jemarinya yang mulai terlihat keriput.
Saat Empu Sungkowo meletakkan batang besi di atas pengalas, tangannya lincah mengayunkan martil yang dipegang.
Besi pijar itu memercikkan api saat kepala martil menghantamnya. Perlakuan itu berulang hingga belasan bahkan mungkin puluhan kali.
Pagi itu, Senin (12/9/2022), hanya Empu Sungkowo dan seorang pegawainya yang bekerja di ruangan berdinding batu bata berpadu dengan anyaman bambu.
Dalam ruangan remang-remang berukuran sekitar 4x5 meter itulah proses penempaan besi dan nikel sebagai bahan pamor dilakukan.
Sumber cahaya di ruangan tersebut hanya berasal dari lampu yang tergantung di tengah ruangan dan jendela kecil tepat di sudut kanan, serta api dari tungku pembakaran.
Suara berderu dari tungku pemanggang besi terdengar mengiringi benturan martil dengan besi pijar, sesekali juga diiringi suara gemeretak arang yang dimakan api.
Sambil terus bekerja, Ki Empu Sungkowo menjelaskan proses pembuatan sebilah keris. Pantulan cahaya bara api di tungku pembakaran terlihat jelas pada kacamatanya.
Pembuatan keris tidak sama dengan proses pembuatan senjata tikam lain, karena ada filosofi dan kepercayaan bahwa tuah memiliki tuah tertentu.
Sehingga pembuatannya pun melalui proses ritual tertentu, salah satunya adalah Empu Sungkowo berpuasa selama tiga hari sebelum memulai proses pengerjaan.
Meski hanya tiga hari, puasa yang dilakukan oleh Empu Sungkowo terhitung 40 hari, karena ia melaksanakannya berdasarkan hitungan penanggalan tertentu dalam kalender Jawa.
Empu Sungkowo juga selalu menanyakan tanggal lahir pemesan keris buatannya. Sebab, masing-masing orang dipercaya akan lebih cocok menggunakan keris dengan dapur atau bentuk dan pamor tertentu.
Selain disesuaikan dengan tanggal lahir pemesan berdasarkan kalender Jawa atau weton, ia juga harus mengetahui profesi calon pengguna kerisnya.
“Untuk masing-masing orang beda kerisnya, tergantung profesi dan tanggal lahir atau weton. Harus tahu wetonnya apa, nanti dapurnya apa, pamornya apa, disesuaikan dengan profesinya.”
Meski demikian, ia tidak akan menolak jika pemesan memilih sendiri tangguh, dapur, maupun pamor keris sesuai keinginan mereka.
Tetapi, sebagai seorang empu yang paham pakem dan kesesuaian keris dengan pemakainya, ia akan menyarankan orang itu memesan keris yang sesuai.
Pada proses awal, ia membakar besi mentah sambil mengetes kualitas bahan. Jika besi tersebut berkualitas bagus, tidak akan putus saat ditempa.
“Proses pembuatan, dari besi kotor, dari besi seperti ini,” ucapnya sambil menunjukkan lempengan besi berbentuk kotak.
“Sambil ngetes besi, sambil menghilangkan karat, dibakar dan ditempa,” lanjutnya saat ditemui di lokasi pembuatan keris sekaligus rumahnya, Gatak, Sumberagung, Kecamatan Moyudan, Kabupaten Sleman.
Lempengan besi yang akan diproses menjadi sebilah keris bukan hanya sebatang. Ia akan membuat antara enam, sembilan, hingga 12 batang lempengan besi.
Setelah membuat lempengan besi sesuai dengan jumlah yang dibutuhkan, selanjutnya lempeng-lempeng itu disusun. Di antara masing-msing lempengan besi, disisipkan lempengan nikel atau meteor yang akan menjadi pamor.
Penulis : Kurniawan Eka Mulyana Editor : Hariyanto-Kurniawan
Sumber : Kompas TV