Pengumpulan Dana untuk Kegiatan Terorisme Merupakan Tren yang Berpola
Sosial | 13 Maret 2022, 12:35 WIBYOGYAKARTA, KOMPAS.TV - Pengumpulan dana untuk kegiatan terorisme melalui kotak amal merupakan tren yang berpola, karena terjadi di sejumlah tempat.
Hal itu disampaikan Ahmad Anfasul Marom, Direktur Institute of South East Asean Islam (ISAIs) Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta, melalui keterangan tertulis yang diterima KOMPAS.TV, Minggu (13/3/2022).
"Kami mengamati ini bukan sekedar kasus tapi tren yang berpola karena terjadi di beberapa tempat juga," jelasnya.
Pada bulan Juli 2021 lalu, lanjut dia, kurang lebih 1.550 kotak amal terkait dengan pendanaan terorisme ditemukan oleh Densus 88 Anti teror Polri.
"Pada tahun sebelumnya Polri juga mengungkap sebanyak 20.068 kotak amal diduga digunakan pendanaan jaringan JI di 12 daerah."
Baca Juga: Wawancara Ekslusif: Tersangka Terorisme Jamaah Islamiyah Buka Suara soal Sistem Pengumpulan Dana
Dalam keterangannya, dia juga menyebut tentang seorang dokter yang diduga sebagai anggota jaringan terroris kelompok Jamaah Islamiyah (JI) dan ditembak mati oleh Densus 88 saat penangkapan di Sukoharjo, Jawa Tengah, baru-baru ini.
"Yang bersangkutan pernah menjabat sebagai penasehat amir JI dan juga penanggung jawab Hilal Ahmar Society Indonesia (HASI)," lanjutnya.
Kegiatan HASI, kata Ahmad, menunjukkan adanya sinyal penyalahgunaan pemberian amal yang digunakan untuk mendukung tindakan kekerasan dan menyediakan kebutuhan logistik bagi kelompok teroris.
Terlebih, Indonesia kembali dikukuhkan sebagai negara paling dermawan di dunia versi World Giving Index 2021. Hal ini menunjukkan bahwa penduduk Indonesia memiliki antusiasme yang sangat tinggi dalam beramal.
Sama seperti HASI, sebut dia, modus pendanaannya dilakukan dengan mendirikan lembaga amal, seperti IDC (Infaq Dakwah Center), BMU (Baitul Mal Ummah), ADC (Azzam Dakwah Center), Anfiqu Center, Gerakan Sehari Seribu (Gashibu), Aseer Cruee Center (ACC), Gubuk Sedekah Amal Ummah (GSAU), RIS al Amin, dan Baitul Mal al-Muunqin.
Baca Juga: Keluarga Napi Terorisme diberi Bantuan Usaha Budidaya Ikan Lele
Dia mengakui, tidak mudah membongkar kedok-kedok filantropi semacam ini, apalagi anjuran berdonasi di kalangan umat Islam telah melekat kuat dalam praktik ibadah bahkan tertanam dalam struktur lapisan agama dan budaya.
"Butuh pendekatan yang lebih strategis dan mendalam untuk membangun kesadaran beramal di kalangan masyarakat muslim."
"Mereka perlu diajak bersama untuk membangun sensitivitas terhadap aktivitas filantropi yang potensial untuk membangun masyarakat, namun disisi lain juga berpotensi untuk disalahgunakan," urainya.
Terkait hal itu, Pusat Studi Islam Asia Tenggara (ISAIs) UIN Sunan Kalijaga dan Bersama Bina Damai (Bernada) tergerak untuk membuat pelatihan filantropi Islam yang diintegrasikan dengan gerakan Islam Washatiyah bagi kalangan lembaga amal, takmir masjid dan ormas Islam.
Pelatihan ini juga akan menghadirkan mantan Napiter, Jack Harun, untuk berbagi pengalamannya bagaimana ia terlibat dan sistem penggalangan dana selama menjadi anggota JI.
Baca Juga: Terduga Teroris yang Ditembak Mati Densus 88 di Sukoharjo Ternyata Dokter, Buka Praktik di Rumah
Dia pun berharap, dengan materi-materi kunci seperti udar asumsi, ice berg analisis, sketsa keberislaman di Indonesia, menyelami filantropi dan sharing langsung dengan Ex Jihadis akan membangun awareness peserta dalam mempelopori gerakan Islam washatiyah dan 'mengawal' praktik kotak amal dan infaq di lingkungan sekitarnya.
Penulis : Kurniawan Eka Mulyana Editor : Gading-Persada
Sumber : Kompas TV