Muhammadiyah: Pemerintah Perlu Jelaskan New Normal ke Masyarakat Secara Transparan dan Objektif
Berita kompas tv | 28 Mei 2020, 13:13 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV - Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Abdul Mu`ti menyatakan bahwa pemerintah perlu mengkaji dengan seksama rencana pemberlakuan tatanan normal baru atau new normal.
Baca Juga: Ketua PP Muhammadiyah: Hadapi Pandemi Covid-19 dengan Keseimbangan Takdir dan Ikhtiar
Termasuk memberikan penjelasan yang obyektif dan transparan kepada masyarakat luas tentang wacana pemberlakuan new normal itu terutama yang terkait dengan:
1. Dasar kebijakan “new normal” dari aspek utama yakni kondisi penularan Covid-19 di Indonesia saat ini.
2. Maksud dan tujuan “new normal”.
3. Konsekuensi terhadap peraturan yang sudah berlaku, khususnya PSBB (Pemberlakuan Sosial Berskala Besar) dan berbagai layanan publik.
4. Jaminan daerah yang sudah dinyatakan aman atau zona hijau yang diberlakukan “new normal”.
5. Persiapan-persiapan yang seksama agar masyarakat tidak menjadi korban, termasuk menjaga kemungkinan masih luasnya penularan wabah Covid-19.
"Pemerintah dengan segala otoritas dan sumber daya yang dimiliki tentu memiliki legalitas kuat untuk mengambil kebijakan yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Dengan demikian akan sepenuhnya bertanggungjawab atas segala konsekuensi dari kebijakan “new normal” yang akan diterapkan di negeri tercinta ini," ujar Abdul Mu`ti, dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Kamis (28/5/2020).
Menurutnya, semua pihak di negeri ini sama-sama berharap pandemi Covid-19 segera berakhir di Indonesia maupun di mancanegara.
"Namun semuanya perlu keseksamaan agar tiga bulan yang telah kita usahakan selama ini berakhir baik. Semoga Allah SWT melindungi bangsa Indonesia," kata Abdul Mu`ti.
Baca Juga: Terkait New Normal, Muhammadiyah Minta Pemerintah Jangan Bikin Bingung Masyarakat
Sebelumnya diberitakan, Muhammadiyah menyatakan bahwa berbagai pemberitaan dan pernyataan pemerintah tentang tatanan normal baru atau new normal akhir-akhir ini menimbulkan tanda tanya dan kebingungan di masyarakat.
Pasalnya, di satu sisi pemerintah masih memberlakukan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) tapi pada sisi lain menyampaikan pemberlakuan relaksasi.
"Kesimpangsiuran ini menjadi sumber ketegangan aparat dengan rakyat. Bahkan, demi melaksanakan aturan kadang sebagian oknum aparat menggunakan cara-cara kekerasan. Demikian halnya dengan new normal," ujar Abdul Mu`ti.
Oleh karena itu, kata Abdul Mu`ti, perlu ada penjelasan dari pemerintah tentang kebijakan new normal itu secara jelas.
"Jangan sampai masyarakat membuat penafsiran masing-masing. Di satu sisi, mal dan tempat perbelanjaan mulai dibuka, sementara masjid dan tempat ibadah masih harus ditutup. Hal ini berpotensi menimbulkan ketegangan antara aparat pemerintah dengan umat dan jamaah," tutur Abdul Mu`ti.
Abdul Mu`ti melanjutkan, padahal ormas keagamaan sejak awal konsisten dengan melaksanakan ibadah di rumah, yang sangat tidak mudah keadaanya di lapangan bagi umat dan bagi ormas sendiri demi mencegah meluasnya kedaruratan akibat wabah Covid-19.
"Laporan BNPB menyebutkan bahwa pandemi Covid-19 masih belum dapat diatasi. Tetapi Pemerintah justru melonggarkan aturan dan mulai mewacanakan new normal. Apakah semuanya sudah dikaji secara valid dan seksama dari para ahli epidemiologi," kata Abdul Mu`ti, mempertanyakannya.
Menurutnya, wajar jika kemudian tumbuh persepsi publik yang menilai kehidupan masyarakat dikalahkan untuk kepentingan ekonomi.
"Penyelamatan ekonomi memang penting, tetapi yang tidak kalah pentingnya adalah keselamatan jiwa masyarakat ketika wabah Covid-19 belum dapat dipastikan penurunannya," ucap Abdul Mu`ti.
Penulis : Deni-Muliya
Sumber : Kompas TV