> >

Mengurai Miskonsepsi dan Kontroversi Kasus Pertamina

Peristiwa | 14 Maret 2025, 18:03 WIB
Ilustrasi pengisian BBM di SPBU Pertamina. (Sumber: Tribunnews/Yulianto)

Saat itu, kata dia, seluruh pegawai pajak terkena stigma negatif. Padahal tidak semua terlibat dalam kasus tersebut.

Lebih lanjut, Metta menekankan peran penting media dalam menjaga narasi tetap seimbang dan berbasis data.

Ia mendorong agar media tidak sekadar mengikuti arus opini di media sosial, tetapi memberikan edukasi kepada publik mengenai perbedaan blending dan oplosan sesuai konteks teknis dan regulasi yang ada.

Namun, tidak hanya sekadar narasi yang tepat, kata Metta, pengawasan dalam pengadaan dan distribusi BBM juga menjadi elemen penting untuk memastikan transparansi dan mencegah penyimpangan.

Baca Juga: Kejagung Geledah Depo Pertamina Plumpang, Sita Dokumen dan Ambil Sampel dari 17 Tangki Minyak

Ketika Transparansi dan Pengawasan Menjadi Penentu Kredibilitas

Selain masalah teknis mengenai blending, isu transparansi dalam pengadaan dan distribusi BBM juga menjadi perhatian utama para narasumber.

Berbagai aspek pengawasan disoroti, mulai dari proses impor, mekanisme kompensasi, hingga keterbatasan kapasitas kilang dalam negeri.

Advokat dan pendiri Lokataru, Haris Azhar mengungkapkan, adanya indikasi manipulasi dalam proses impor BBM oleh Pertamina.

Ia menyebut data Kementerian ESDM yang menunjukkan impor RON 90 dari Singapura. Padahal, negara tersebut hanya memproduksi BBM dengan RON 92, 95, dan 97.

Hal itu memicu dugaan adanya manipulasi administrasi dan penggelembungan harga yang berpotensi memberikan keuntungan besar kepada pihak tertentu melalui selisih kompensasi yang dibayarkan pemerintah.

Lebih jauh, Haris juga mengusulkan agar para tersangka dalam kasus Pertamina bisa menjadi whistleblower atau justice collaborator.

Langkah ini penting untuk membantu membuka praktik-praktik mafia migas di Indonesia yang, menurutnya, bukan isu baru.

Dengan adanya whistleblower, proses hukum dapat lebih terarah dan berpotensi mengungkap aktor utama di balik kasus ini. Isu transparansi juga mencuat dalam mekanisme kompensasi pengadaan BBM. 

Adapun Anggota Komisi XII DPR RI Eddy Soeparno menjelaskan, mekanisme kompensasi pengadaan BBM melibatkan Kementerian Keuangan dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam proses verifikasi sebelum kompensasi dibayarkan kepada Pertamina.

Meski pengawasan cukup ketat, Eddy menyoroti masih ada celah yang bisa dimanfaatkan oknum tertentu.

Baca Juga: SPBU di Medan Ketahuan Jual Pertalite dengan Oktan 87, Pertamina Beri Penjelasan

Ia pun mendorong agar pengawasan internal di Pertamina diperkuat, khususnya melalui peran komisaris yang harus lebih proaktif dan tidak sekadar menjadi “penonton” dalam pengawasan operasional perusahaan.

Eddy juga menekankan pentingnya audit menyeluruh terhadap produksi dan kapasitas kilang Pertamina agar tidak ada celah dalam pengadaan BBM.

Sementara Anggota DEN Eri Purnomohadi menyoroti keterbatasan kapasitas kilang dalam negeri sebagai alasan utama mengapa Indonesia masih mengimpor BBM.

Dia mengatakan kilang dalam negeri hanya mampu memproses sekitar 600.000 barel per hari, sedangkan kebutuhan nasional mencapai hampir dua kali lipatnya.

Eri menilai, selama kapasitas kilang belum memadai, impor BBM tak terhindarkan. Namun, yang menjadi perhatian utamanya adalah kurangnya transparansi dalam proses impor.

"Impor BBM memang tidak bisa dihindari karena keterbatasan kilang dalam negeri. Tetapi, yang menjadi masalah adalah ketidaktransparanan dalam proses impornya," tegasnya.

Sebagai solusi, Eri mengusulkan pembangunan kilang baru dengan kapasitas 500.000 barel per hari untuk meningkatkan kemandirian energi dan mengurangi ketergantungan pada impor BBM.

Selain itu, pembentukan cadangan penyangga energi nasional juga diperlukan untuk menjaga stabilitas pasokan energi di masa depan.

Sidang Terbuka untuk Pulihkan Kepercayaan Publik

Kelima narasumber sepakat bahwa kasus Pertamina perlu segera dibawa ke persidangan terbuka. Selain untuk memastikan transparansi, persidangan terbuka juga akan memberikan edukasi kepada masyarakat mengenai tata kelola energi yang baik.

Dengan langkah konkret berupa sidang terbuka dan reformasi struktural, diharapkan pula kepercayaan publik terhadap Pertamina dan BUMN lainnya dapat kembali pulih.

“Jangan sampai kasus ini hanya ganti pemain, tetapi sistemnya tetap sama. Kita butuh reformasi struktural, baik di Pertamina maupun dalam regulasi pengawasan impor BBM,” ucap Haris.

Hal senada turut disampaikan Metta. Ia mendukung ide diadakannya sidang terbuka. Menurutnya, transparansi adalah kunci untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap Pertamina dan BUMN pada umumnya.

Selain itu, ia berharap, proses hukum tidak dicampuradukkan dengan kepentingan politik agar hasilnya benar-benar objektif dan dapat dipercaya.

 

Penulis : Meirna Larasati Editor : Redaksi-Kompas-TV

Sumber : Kompas TV


TERBARU