Mengurai Miskonsepsi dan Kontroversi Kasus Pertamina
Peristiwa | 14 Maret 2025, 18:03 WIB
JAKARTA, KOMPAS.TV – Industri energi, khususnya sektor minyak dan gas, menghadapi tantangan besar di tengah perannya sebagai tulang punggung perekonomian nasional.
Salah satu isu yang tengah mencuat adalah terseretnya Pertamina dalam pusaran kasus hukum sehingga berpotensi merusak kepercayaan publik terhadap BUMN strategis ini.
Dugaan korupsi di PT Pertamina (Persero) dan anak perusahaannya mengguncang publik. Kejaksaan Agung (Kejagung) telah menetapkan sembilan tersangka dalam kasus yang diduga merugikan negara sedikitnya Rp193,7 triliun tersebut.
Isu yang mencuat terkait Pertamina tidak hanya soal korupsi, tetapi juga mengenai istilah “oplosan” bahan bakar yang memicu kebingungan masyarakat.
Sebagai bentuk respons terhadap dinamika tersebut, talk show Industrial Summit 2025: Kasus Pertamina vs Kepercayaan Publik yang disiarkan langsung oleh KompasTV, Rabu (5/3/2025), menghadirkan diskusi mendalam membahas tata kelola energi nasional serta dampak dari permasalahan hukum yang melibatkan Pertamina.
Dengan menghadirkan para pakar dan pemangku kepentingan, forum ini diharapkan menjadi ajang evaluasi dan solusi untuk memperkuat transparansi serta integritas industri energi Indonesia.
Lima narasumber dalam talk show tersebut adalah pakar konversi Institut Teknologi Bandung (ITB) Tri Yuswidjajanto Zaenuri, advokat dan pendiri Lokataru Haris Azhar, Anggota Komisi XII DPR RI Eddy Soeparno, Chief Executive Officer (CEO) & Co-Founder Katadata Metta Dharmasaputra, dan Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Eri Purnomohadi.
Baca Juga: Dasco soal Ahok Diperiksa Kejagung terkait Kasus Korupsi Pertamina: Komisaris Tahu Isi Laporan
Blending BBM vs. Oplosan
Belakangan ini, isu pencampuran BBM menjadi perhatian publik sehingga masyarakat mempertanyakan perbedaan antara blending dan oplosan.
Di tengah berbagai spekulasi yang berkembang, pakar konversi ITB, Tri Yuswidjajanto Zaenuri, berupaya memberikan pemahaman lebih jernih mengenai proses blending dalam produksi bahan bakar minyak (BBM).
Tri menjelaskan, blending adalah praktik umum dan sah di seluruh dunia. Tujuannya, mencapai spesifikasi tertentu pada BBM.
Proses ini tidak sekadar mencampur BBM dengan Ron yang berbeda, tetapi juga mempertimbangkan berbagai parameter penting, seperti massa jenis, viskositas, dan kadar sulfur.
"Kalau misalnya RON 92 dicampur dengan RON 90, hasilnya adalah RON 91. Jika ini dijual sebagai Pertalite, konsumen diuntungkan karena kinerja kendaraannya membaik," jelasnya.
Tri menegaskan, blending tidak hanya dilakukan di kilang minyak, tetapi juga di terminal bahan bakar minyak (TBBM). Misalnya, dalam pembuatan solar B40.
Pencampuran biodiesel dan solar dilakukan di TBBM, bukan di kilang. Hal tersebut menunjukkan, pencampuran bahan bakar di luar kilang adalah hal lazim dan diatur dalam regulasi.
Lebih lanjut, Tri juga menyoroti peran aditif deterjen dalam Pertamax yang tidak ada pada Pertalite. Aditif ini berfungsi menjaga kebersihan katup mesin, mencegah pemborosan bahan bakar, dan mengurangi emisi gas buang.
Baca Juga: Kejagung Buka Kemungkinan Panggil Ahok Lagi terkait Kasus Korupsi Pertamina
Jika benar terjadi pengoplosan Pertalite dengan Pertamax, kata dia, seharusnya ada perubahan kinerja mesin yang terasa oleh konsumen.
Tri mencontohkan, tarikan kendaraan yang lebih berat dan konsumsi bahan bakar lebih boros.
Selain itu, kata dia, pewarnaan bahan bakar memiliki fungsi penting sebagai penanda visual dan tidak memengaruhi kualitas BBM. Warna juga berfungsi sebagai kontrol di SPBU untuk memastikan konsumen mendapatkan produk sesuai dengan dispenser.
Proses ini diawasi dengan ketat dan harus melalui tahapan sertifikasi sesuai dengan regulasi yang berlaku.
Pernyataan itu sekaligus meredakan kekhawatiran publik mengenai tuduhan "oplosan" yang berkembang di media sosial.
Tri memastikan proses blending yang benar tidak akan merugikan konsumen, justru bisa meningkatkan performa kendaraan.
“Jika benar terjadi pengoplosan dalam skala besar, publik pasti akan merasakan dampaknya dan hal ini sangat mungkin akan menjadi viral, seperti kejadian-kejadian sebelumnya yang cepat terungkap melalui laporan masyarakat,” tuturnya.
Cegah Keresahan Publik Lewat Pemilihan Diksi yang Tepat
Keresahan juga disampaikan Chief Executive Officer (CEO) & Co-Founder Katadata Metta Dharmasaputra. Ia menyoroti pentingnya penggunaan istilah yang tepat dalam pemberitaan kasus tersebut.
Menurutnya, penggunaan kata “oplosan” dalam konteks BBM sangat berpotensi memicu keresahan publik. Pasalnya, istilah tersebut biasanya dikaitkan dengan tindakan ilegal atau curang.
Baca Juga: Kata Jaksa Agung soal Kabar Ada Grup WA "Orang-Orang Senang" yang Berisi Tersangka Kasus Pertamina
"Blending itu sah dan diatur dalam regulasi. Kita tidak pernah menyebut cappuccino sebagai 'oplosan kopi'. Sama halnya dengan blending BBM. Sebaiknya, kita menggunakan istilah yang lebih tepat, seperti 'pencampuran' atau 'blending'," tekan Metta.
Dia juga mengingatkan, penggunaan istilah yang salah bisa memicu distorsi opini publik. Ia khawatir jika narasi negatif ini terus berkembang, masyarakat bisa terprovokasi dan melakukan tindakan di luar kendali, seperti yang pernah terjadi pada kasus pajak Gayus Tambunan di masa lalu.
Penulis : Meirna Larasati Editor : Redaksi-Kompas-TV
Sumber : Kompas TV