> >

Riwayat Gula, Tulang Punggung Kolonial tapi Beban Bagi Petani

Humaniora | 30 Oktober 2024, 15:00 WIB
Stasiun ketel PG Rejoagung pada April 1974. (Sumber:Dok Arsip PG Rejoagung/Kompas.id)

JAKARTA, KOMPAS.TV- Komoditas gula pernah menjadi primadona di Nusantara setelah era tanam paksa berakhir (1870). Di masa kejaayaanya, gula menyumbang perekonomian kolonial Belanda hingga melahirkan pengusaha gula kelas internasional, Oei Tiong Ham.

Begitu perkasanya komoditas gula memberikan sumbangan kekayaan, sampai muncul istilah de kurk waarop Java dreef (gabus tempat Pulau Jawa mengapung). Ungkapan ini, kata sejarawan Ong Hok dalam bukunya "Dari Soal Priayi sampai Nyi Blorong", artinya perekonomian kolonial Belanda yang berpusat di Pulau Jawa, karena ekspor gula dari Pulau Jawa sebelum tahun 1930-an merupakan seperempat  dari penghasilan Pemerintah HIndia Belanda.

Pulau Jawa juga diuntungkan karena perkebunan tebu sudah marak jauh sebelum Belanda datang.

"Mungkin tanaman ini dibawa oleh orang India atau Arab," tulis Ong yang kini sudah almarhum.

Namun, penanaman tebu secara besar-besaran dengan pabrik gula dilakukan oleh pemerintah kolonoial Belanda di Tangerang, Banten oleh masyarakat Tionghoa. Keberadaan pabrik gula mengalami pasang surut hingga tahun 1830 saat era tanam paksa diberlakukan.

Kala itu, pemerintah kolonial melakukan berbagai perkebunan ekspor di Jawa dengan para pegawai juga orang Belanda. Mereka juga dipaksa untuk mencari lahan dan tenaga kasar masyarakat pribumi untuk dipekerjakan. 

Baca Juga: Ini Kronologi Dugaan Korupsi Impor Gula Tom Lembong yang Rugikan Negara hingga Rp400 M

Setelah tanam paksa berakhir, perkebunan milik pemerintah kolonial Belanda banyak yang dijual kepada swasta. Nah, salah seorang yang membeli dan mengembangkannya adalah Oei Tiong Ham yang mendirikan N.V. Handel Maatschappij Kian Gwan pada tahun 1893 yang kemudian mendirikan banyak pabrik gula. Pabrik gula yang pertama dibeli Pabrik Gula Pakis tahun 1894 kemudian dibeli pula Pabrik Gula Rejoagung, Tanggulangin, Ponen, Krebet.

Mengutip Kompas.id, total luas lahan lima pabrik gula tersebut mencapai 7.082 hektar. Tak heran, bila Oei Tiong Ham di kemudian hari dijuluki sebagai Raja Gula. 

Mancanegara pun dirambah Kian Gwan dimulai tahun 1910 dengan pembukaan perusahaan cabang di London, Inggris, dengan nama Kian Gwan Western Agency Ltd. Perusahaan ini tadinya bernama FC Grein, agen Kian Gwan di Inggris sejak 1902, tetapi kemudian diambil alih oleh OTH.

Cabang di Amsterdam hingga New York, Amerika Serikat (AS), pun dibuka oleh Kian Gwan melalui jaringan keagenan mereka. Seligman and Company adalah rekanan Kian Gwan di Kota New York yang terutama menangani perdagangan tapioka.

Dalam kurun lima tahun, 1911 – 1915, kantor perwakilan di London sudah menjual 725.000 ton gula dari Jawa ke British India (India), Jepang, China, Amerika Serikat, Kerajaan Inggris serta benua Eropa. Angka ekspornya mencapai 145.000 ton per tahun.

Baca Juga: Jadi Tersangka, Ini Peran Tom Lembong dalam Kasus Korupsi Impor Gula Menurut Kejagung

Menjadi Beban Rakyat Petani

Namun kejayaan perusahaan gula di Jawa itu harus dibayar oleh para petani.

"Kalau gula di Jawa merupakan tulang punggung ekonomi kolonial, baik bagi negara maupun pengusaha besar swasta, maka ia merupakan beban bagi rakyat petani," kata Ong. Sambil mengutip antropolog Clifford Geertz, gula ternyata menyebabkan proses involusi pertanian atau terpecahnya tanah persawahan yang makin kecil.

Satu usaha tani yang seharusnya makin besar (evolusi). Namun melalui perkebunan tebu dan pabrik gula, persawahan justru menyusut dan usaha pertanian makin mundur. Dan itu berlanjut dalam struktur pertanian di masyarakat Jawa sekarang, sehingga banyak petani gurem dengan lahan yang kecil.

Masalahnya, perkebunan tebu sangat cocok di atas tanah sawah dan membutuhkan banyak air sehingga terjadi persaingan dalam hal irigasi. Selain juga ada persaingan tenaga kerja. Lagi-lagi para petani saswah yang gurem itu, kalah oleh perkebunan tebu dengan modal besar. Apalagi kala itu, ada kebijakan dari raja-raja di Jawa bahwa  petani sawah harus menyerahkan sebagian tanahnya untuk perkebunan yang disebut pajak tanah.

"Petani harus menyerahkan sebagian tanahnya untuk perkebunan gula dan harus bekerja padanya dengan atau tanpa upah,"kata Ong.         

 

Penulis : Iman Firdaus Editor : Gading-Persada

Sumber : Kompas.id


TERBARU