Riwayat Gula, Tulang Punggung Kolonial tapi Beban Bagi Petani
Humaniora | 30 Oktober 2024, 15:00 WIBCabang di Amsterdam hingga New York, Amerika Serikat (AS), pun dibuka oleh Kian Gwan melalui jaringan keagenan mereka. Seligman and Company adalah rekanan Kian Gwan di Kota New York yang terutama menangani perdagangan tapioka.
Dalam kurun lima tahun, 1911 – 1915, kantor perwakilan di London sudah menjual 725.000 ton gula dari Jawa ke British India (India), Jepang, China, Amerika Serikat, Kerajaan Inggris serta benua Eropa. Angka ekspornya mencapai 145.000 ton per tahun.
Baca Juga: Jadi Tersangka, Ini Peran Tom Lembong dalam Kasus Korupsi Impor Gula Menurut Kejagung
Menjadi Beban Rakyat Petani
Namun kejayaan perusahaan gula di Jawa itu harus dibayar oleh para petani.
"Kalau gula di Jawa merupakan tulang punggung ekonomi kolonial, baik bagi negara maupun pengusaha besar swasta, maka ia merupakan beban bagi rakyat petani," kata Ong. Sambil mengutip antropolog Clifford Geertz, gula ternyata menyebabkan proses involusi pertanian atau terpecahnya tanah persawahan yang makin kecil.
Satu usaha tani yang seharusnya makin besar (evolusi). Namun melalui perkebunan tebu dan pabrik gula, persawahan justru menyusut dan usaha pertanian makin mundur. Dan itu berlanjut dalam struktur pertanian di masyarakat Jawa sekarang, sehingga banyak petani gurem dengan lahan yang kecil.
Masalahnya, perkebunan tebu sangat cocok di atas tanah sawah dan membutuhkan banyak air sehingga terjadi persaingan dalam hal irigasi. Selain juga ada persaingan tenaga kerja. Lagi-lagi para petani saswah yang gurem itu, kalah oleh perkebunan tebu dengan modal besar. Apalagi kala itu, ada kebijakan dari raja-raja di Jawa bahwa petani sawah harus menyerahkan sebagian tanahnya untuk perkebunan yang disebut pajak tanah.
"Petani harus menyerahkan sebagian tanahnya untuk perkebunan gula dan harus bekerja padanya dengan atau tanpa upah,"kata Ong.
Penulis : Iman Firdaus Editor : Gading-Persada
Sumber : Kompas.id