> >

Survei Kepuasan Jokowi: Antara Bansos, Lemahnya Penegakkan Hukum dan Revolusi Mental

Peristiwa | 8 Oktober 2024, 11:05 WIB
Presiden Joko Widodo atau Jokowi bersama Ibu Negara Iriana Joko Widodo merayakan gol saat pertandingan Timnas Indonesia melawan Brunei pada leg 1 kualifikasi Piala Dunia 2026 babak pertama zona Asia di Stadion Utama Gelora Bung Karno (GBK), Senayan, Jakarta, Kamis (12/10/2023). Jokowi mengapreasi positif hasil imbang In (Sumber: Dhemas Revviyanto via Kompas.com)

JAKARTA, KOMPAS.TV- Di ujung kepemimpinannya, yang akan berakhir 20 Oktober 2024, kepuasan terhadap Presiden Joko Widodo atau Jokowi stabil di angka yang tinggi.

Hasil Survei Kepemimpinan Nasional oleh Litbang Kompas pada 27 Mei-2 Juni 2024 menunjukkan, 75,6 persen responden survei menyatakan puas terhadap jalannya pemerintahan.

Alasan terbesar masyarakat puas karena sering mendapatkan bantuan sosial atau bansos (21,7 persen). Hal ini mengalahkan alasan pada pembangunan infrastruktur yang masif dalam 10 tahun terakhir (10,5 persen).

Anggaran bansos selama satu dekade Jokowi berkuasa memang melonjak tajam. Saat Jokowi menjabat Presiden pertama kali pada 2014, anggaran bansos hanya sekitar Rp97 triliun.

Jelang akhir pemerintahan Jokowi periode pertama atau menuju kontestasi Pemilihan Presiden 2019, anggaran bansos naik menjadi Rp112 triliun.

Baca Juga: Jokowi Serahkan Keppres Pemindahan Ibu Kota ke Prabowo, Dasco: Masih Dikaji

Namun soal bansos ini bukan tanpa masalah. Dikutip dari Kompas.id, (https://www.kompas.id/baca/humaniora/2024/10/06/alarm-pembangunan-manusia-jangka-panjang?open_from=Humaniora_Page)  Koordinator Kelompok Riset Kemiskinan, Ketimpangan, dan Perlindungan Sosial Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Yanu Endar Prasetyo, Minggu (6/10/2024), mengatakan, meskipun angka kemiskinan turun dari 1,25 persen pada tahun 2014 menjadi 9,03 persen pada 2024, namun ketimpangan antardaerah masih menjadi masalah.

Beberapa provinsi dan kabupaten memiliki tingkat kemiskinan yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan daerah lainnya sehingga distribusi kesejahteraan belum merata.

Sementara itu, sistem pendataan masih membingungkan. Pemerintah memiliki tiga acuan data yang berbeda untuk penanganan kemiskinan, mulai dari Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) dari Kementerian Sosial, Registrasi Sosial Ekonomi (Regsosek) dari Badan Pusat Statistik dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, serta Penyasaran Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem (P3KE) dari BKKBN dan Kemenko Perekonomian.

”Ketiadaan data tunggal kesejahteraan sosial ini tentu akan menyulitkan akurasi dari agenda penurunan kemiskinan. Pemerintah ke depan perlu memprioritaskan adanya data tunggal kesejahteraan sosial dan menghilangkan tumpang tindih data,” kata Yanu.

Penulis : Iman Firdaus Editor : Gading-Persada

Sumber : Kompas TV


TERBARU