> >

Dewan Pers Tolak Draf RUU Penyiaran dan Sebut Upaya Pembungkaman Sudah 5 Kali Dilakukan

Hukum | 15 Mei 2024, 07:42 WIB
Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu dalam konferensi pers di Gedung Dewan Pers, Jakarta Pusat, Selasa (14/5/2024). (Sumber: Tangkapan layar siaran kanal YouTube Dewan Pers Official)

JAKARTA, KOMPAS.TV -  Dewan Pers dan seluruh komunitas pers menolak isi draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran. Draf RUU tersebut dinilai bertentangan dengan Pasal 4 ayat 2 UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

Hal itu disampaikan oleh Ketua Dewan Pers, Dr Ninik Rahayu, dalam jumpa pers di Kantor Dewan Pers, Jakarta, Selasa (14/5/2024).

“Kami menolak RUU Penyiaran. Kami menghormati rencana revisi UU Penyiaran tetapi mempertanyakan UU Pers Nomor 40 Tahun 1999 justru tidak dimasukkan dalam konsideran RUU Penyiaran,” kata dia, dikutip dari laman resmi Dewan Pers.

Draf RUU Penyairan tersebut  merupakan inisiatif DPR yang direncanakan untuk menggantikan UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.

Ninik berpendapat jika nantinya RUU itu diberlakukan, tidak akan ada lagi independensi pers, dan pers menjadi tidak profesional.

Baca Juga: Pesan Ketua Dewan Pers untuk Presiden Baru soal Kemerdekaan Pers

Ia mengkritisi penyusunan RUU tersebut yang tidak melibatkan Dewan Pers sejak awal proses pembuatannya.

Ia berpendapat dalam proses penyusunan draf RUU Penyiaran tidak ada partisipasi penuh makna (meaningful partiipation) padahal itu harus ada dalam ketentuan proses penyusunan UU.

Draf RUU tersebut juga melarang penayangan jurnalisme investigasi. Menurut Nini, hal itu bertentangan dengan pasal 4 ayat (2) UU Pers yang menyatakan, bahwa terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pemberedelan, atau pelarangan penyiaran.

Larangan tersebut menurutnya juga akan membungkam kemerdekaan pers.

Sorotan lain adalah mengenai penyelesaian sengketa pers di platform penyiaran.

“Sesuai UU Pers, itu menjadi kewenangan Dewan Pers. KPI tidak punya wewenang menyelesaikan sengketa pers,” tambahnya.

Sementara, anggota Dewan Pers, Yadi Hendriana, menyebut pemerintah maupun legislatif sudah lima kali melakukan upaya menggembosi  kemerdekaan pers.

Upaya-upaya tersebut tecermin melalui isi UU Pemilu, peraturan Komisi Pemilihan Umum, pasal dalam UU Cipta Kerja, KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana), dan terakhir RUU Penyiaran.

Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Nani Afrida, berpendapat jurnalisme investigatif merupakan strata tertinggi dalam karya jurnalistik.

Baca Juga: AJI soal RUU Penyiaran: Kami Minta DPR Tangguhkan sampai Ada DPR yang Baru

Jika jurnalisme investigatif dilarang, maka akan menghilangkan kualitas jurnalistik.

Penolakan juga disampaikan oleh Asosiasi Televisi Lokal Indonesia (ATVLI), Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI), Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI), Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), dan semua konstituen Dewan Pers.

 

Penulis : Kurniawan Eka Mulyana Editor : Gading-Persada

Sumber : Kompas TV


TERBARU