Kisah Syekh Djamil Djambek, dari Ahli Sihir dan Pemabuk hingga Jadi Ulama Besar
Humaniora | 13 Maret 2024, 06:30 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV - Pada 7 Agustus 1995, Presiden Soeharto memberikan anugerah Bintang Mahaputera Utama kepada Syekh Muhammad Djamil Djambek.
Penghargaan ini diberikan kepada mereka yang dinilai secara luar biasa menjaga keutuhan, kelangsungan, dan kejayaan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Siapa Syekh Djamil Djambek?
Ulama ini berasal dari Minangkabau, Sumatera Barat. Syekh Djamil lahir dari keluarga bangsawan Bukittinggi pada 1862 (ada yang menyebut 1860) dan meninggal di kota yang sama pada 30 Desember 1947 pada umur 85 atau 87 tahun.
Ayahnya, Saleh Datuak Maleka, merupakan seorang penghulu dan kepala nagari Kurai, sedangkan ibunya berasal dari tanah Sunda.
Sebelum dikenal sebagai seorang alim, kehidupan Djamil muda sangat jauh dari nilai-nilai agama Islam.
Almarhum Ahmad Syafii Maarif dalam bukunya "Al-quran dan Realitas Umat" (penerbit Republika), pernah menulis tentang ulama ini.
Menurut Ketua PP Muhammadiyah periode 1998-2005 tersebut, sebutan Djambek berarti senang memanjangkan janggut dan kumis hingga usia tua.
"Perjalanan tokoh ini penuh rona dan drama," kata Buya Syafii.
Baca Juga: Pemilu 2024, Nahdlatul Ulama Sarankan Pemilih untuk Baca Doa Ini Sebelum Mencoblos
Bagaimana tidak, sebelum menjadi ulama, Djamil hidup sebagai "parewa" dengan segala tabiat buruk yang dilekatkan padanya.
"Dia ahli sihir, pemabuk dan bahkan suka mencuri," tulis Buya Syafii.
Petualangan Djamil sebagai "parewa" berjalan selama 10 tahun hingga suatu ketika dia hampir mati digebuki orang sekampung karena tepergok mencuri.
Dia pun insyaf dan mulai kembali ke jalan yang benar dengan niat yang sungguh-sungguh.
Pada tahun 1894 di usia 34 tahun, setelah ayahnya benar-benar yakin sang anak sudah insyaf, Djamil diajak ke Mekah untuk menjalankan ibadah haji sekaligus menuntut ilmu.
Di Mekah kala itu, dia berguru langsung kepada Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, ulama Minang yang menjadi guru para ulama di Nusantara seperti KH Agus Salim, Syekh Abdul Karim (ayah Hamka), KH Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah) hingga KH Hasyim Asyari (pendiri Nahdlatul Ulama).
Di Mekah, Syekh Djamil benar-benar dicuci otaknya hingga benar-benar paham ilmu agama serta punya perilaku yang baik.
Sepulang dari Mekah pada 1903, Syekh Djamil membuktikan bahwa dia bukanlah orang yang dulu. Kini ia seorang ulama, dan itu dibuktikan dengan sikap, dan ajarannya.
Ia memberi pendidikan kepada masyarakat sekitar melalui surau yang dia dirikan, Surau Tengah Sawah dan Surau Kamang.
Memang awalnya dia pun mendapatkan penolakan, cibiran, bahkan dimusuhi. Selain latar belakangnya yang bekas preman, dia juga membawa pikiran pembaharuan dalam praktik beragama.
Salah satunya, mengganti syair-syair berbahasa Arab saat perayaan kelahiran Nabi Muhammad SAW dengan bahasa Melayu sehingga dapat dimengerti lebih banyak orang.
Baca Juga: Jejak Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, Mahaguru Ulama Nusantara di Makkah
Kiprahnya mampu memberikan warna baru di bidang keagamaan di Minangkabau.
Dikutip dari Ensiklopedia Islam, Syekh Djamil Djambek juga dikenal sebagai ulama yang pertama kali memperkenalkan cara bertablig di muka umum.
Barzanji (rawi) atau marhaban (puji-pujian) yang biasanya dibacakan di surau-surau saat peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, digantinya dengan tablig yang menceritakan riwayat kelahiran Rasulullah dalam bahasa Melayu.
Buya Syafii mengatakan dalam tulisannya, "Djambek adalah sebuah mutiara yang teramat mahal untuk dijadikan cermin. Kita semua akan rugi, jika mutiara ini tetap saja dibiarkan terbenam dalam kultur amnesia kolektif."
Penulis : Iman Firdaus Editor : Edy-A.-Putra
Sumber : Kompas TV