Kisah Syekh Djamil Djambek, dari Ahli Sihir dan Pemabuk hingga Jadi Ulama Besar
Humaniora | 13 Maret 2024, 06:30 WIBDia pun insyaf dan mulai kembali ke jalan yang benar dengan niat yang sungguh-sungguh.
Pada tahun 1894 di usia 34 tahun, setelah ayahnya benar-benar yakin sang anak sudah insyaf, Djamil diajak ke Mekah untuk menjalankan ibadah haji sekaligus menuntut ilmu.
Di Mekah kala itu, dia berguru langsung kepada Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, ulama Minang yang menjadi guru para ulama di Nusantara seperti KH Agus Salim, Syekh Abdul Karim (ayah Hamka), KH Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah) hingga KH Hasyim Asyari (pendiri Nahdlatul Ulama).
Di Mekah, Syekh Djamil benar-benar dicuci otaknya hingga benar-benar paham ilmu agama serta punya perilaku yang baik.
Sepulang dari Mekah pada 1903, Syekh Djamil membuktikan bahwa dia bukanlah orang yang dulu. Kini ia seorang ulama, dan itu dibuktikan dengan sikap, dan ajarannya.
Ia memberi pendidikan kepada masyarakat sekitar melalui surau yang dia dirikan, Surau Tengah Sawah dan Surau Kamang.
Memang awalnya dia pun mendapatkan penolakan, cibiran, bahkan dimusuhi. Selain latar belakangnya yang bekas preman, dia juga membawa pikiran pembaharuan dalam praktik beragama.
Salah satunya, mengganti syair-syair berbahasa Arab saat perayaan kelahiran Nabi Muhammad SAW dengan bahasa Melayu sehingga dapat dimengerti lebih banyak orang.
Baca Juga: Jejak Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, Mahaguru Ulama Nusantara di Makkah
Kiprahnya mampu memberikan warna baru di bidang keagamaan di Minangkabau.
Dikutip dari Ensiklopedia Islam, Syekh Djamil Djambek juga dikenal sebagai ulama yang pertama kali memperkenalkan cara bertablig di muka umum.
Barzanji (rawi) atau marhaban (puji-pujian) yang biasanya dibacakan di surau-surau saat peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, digantinya dengan tablig yang menceritakan riwayat kelahiran Rasulullah dalam bahasa Melayu.
Buya Syafii mengatakan dalam tulisannya, "Djambek adalah sebuah mutiara yang teramat mahal untuk dijadikan cermin. Kita semua akan rugi, jika mutiara ini tetap saja dibiarkan terbenam dalam kultur amnesia kolektif."
Penulis : Iman Firdaus Editor : Edy-A.-Putra
Sumber : Kompas TV