Pelangi Cina Indonesia: Teguh Karya, Berkarya hingga Akhir Hayat
Humaniora | 9 Februari 2024, 06:00 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV - Dari 13 film yang dibuat, 11 di antaranya diganjar Piala Citra, penghargaan bergengsi di dunia perfilman Tanah Air. Dari tangan Teguh Karya, bukan saja film berkualitas bagus dihasilkan, tetapi juga aktor dan artis yang tak diragukan seperti Slamet Rahardjo, Christine Hakim dan Alex Komang.
Teguh Karya terlahir dengan nama Liem Tjoan Hok di Maja, Banten, pada 22 September 1934. Meski lahir dari keluarga Tionghoa, namun Teguh selalu bangga menyebut diri sebagai orang Banten. Bagaimana tidak, masa kecilnya dihabiskan di ujung barat Pulau Jawa itu bersama orang-orang dan keluarga yang hangat. Ayahnya memiliki toko kelontong kecil di sana, ibunya seorang ibu rumah tangga. Teguh lahir dengan bantuan seorang dukun bernama Nyi Kanarsih.
Baca Juga: Film Tahun Baru 2024: Night Swim Karya James Wan Sutradara Conjuring, Begini Sinopsisnya
Oleh keluarga dan tetangga, dia biasa dipanggil Steve Liem. "Steve nama baptis saya," katanya.
Lingkungan keluarga dan alam yang tenang, senantiasa membuatnya terkesan. Dia masih ingat betul rumahnya yang berlantai tanah, lalu tanah itu dipakaikan kulit kerang putih-putih. "Ini membekas sekali dalam ingatan saya," katanya, seperti dikutip dari buku Pelangi Cina Indonesia, Penerbit Intisari (2002).
Dari lima bersaudara, hanya Teguh yang punya darah seni. Rupanya ini diturunkan dari kakeknya yang pintar nayub. "Orang terkagum-kagum lihat kakek saya nayub. Ia sendiri pemain gambang," katanya.
Awal Masuk Dunia Film
Lulus SMP tahun 1953, Teguh bercita-cita masuk sekolah pertanian di Bogor karena dia suka tetumbuhan. Ia juga pernah sekolah teologi untuk menyenangkan hati ibunya.
Namun pada suatu hari, dia melihat pengumuman Akademi Seni Drama dan Film (Asdrafi) Yogyakarta buka bagi lulusan SMP. Ia pun segera berangkat ke Yogyakarta, meski sebelumnya tidak pernah pergi jauh. Kepada orang tuanya, ia mengaku akan masuk sekolah pertanian di Bogor. Diberilah ia uang saku Rp50 perak.
Dari sinilah dia mulai menapaki karir di dunia teater dan film. Apalagi, di sini pula dia berkenalan dengan orang-orang film yang sudah punya nama seperti Asrul Sani, Usmar Ismail, dan D. Djajakusuma. Dari merekalah Teguh terdorong untuk terus belajar hingga mendapatkan beasiswa ke Hawaii, Amerika Serikat.
Ketika Hotel Indonesia (HI) baru berdiri, Teguh bekerja di sana sebaga stage manager. Di panggung yang ada di hotel paling mewah di Indonesia kala itu, dia memprogram pementasan tari-tarian dari berbagai daerah. Pekerjaan ini memungkinkannya keliling Indonesia melihat tari dan teater sejumlah daerah.
Barulah pada 1968 dia mendapatkan kepercayaan memakai panggung Bali Room di sana untuk pentas.
Para pemain teater adalah mahasiswa sekolah teater (ATNI) dan karyawan hotel. Tak sia-sia, Teguh dan kawan-kawan berhasil mementaskan Antara Dua Perempuan karya Alice Gerstenberg dan Kammerhere Alving karya Hendrik Ibsen pada September dan Oktober 1968. Teguh bertindak sebagai sutradara.
Semenjak itu, sebulan sekali ada pentas teater di sana dengan imbalan nasi bungkus.
Setahun kemudian, Teguh juga menggarap sinema televisi yang kebanyakan saduran hingga setidaknya 21 judul.
Dan baru pada 1971, dia mulai membuat film layar lebar yang pertama berjudul Wajah Seorang Laki-Laki. Setelah itu dia menyutradarai banyak film yang disukai penonton dan diganjar Piala Citra. Namanya ditabalkan sebagai sutradara teater dan film Indonesia.
Namun, kerusuhan 1998 di Jakarta membuatnya depresi hingga terserang stroke. Praktis, Teguh hanya duduk di kursi dan sulit berkomunikasi.
Pada 16 Oktober 2001, sambil duduk di kursi rodanya, Teguh diberi penghargaan Life Time Achievement dari Panitia Festival Film Asia Pasifik atas pengabdianya yang panjang dan terus-menerus dalam dunia perfilman di Indonesia.
Baca Juga: 5 Rekomendasi Film untuk Menyambut Perayaan Imlek, Bisa Ditonton Bersama Keluarga
Dua bulan kemudian, 11 Desember 2001, saat sedang sarapan sereal, dia tersedak hingga sulit bernafas. Ia dilarikan ke Rumah Sakit Angkatan Laut Mintohardjo. Namun di perjalanan, nyawanya tak tertolong. Teguh meninggal tanpa anak dan iseri, namun meninggalkan banyak karya film dan teater yang menginspirasi para sutradara dan aktor hingga saat ini.
Penulis : Iman Firdaus Editor : Vyara-Lestari
Sumber : Kompas TV/Intisari