> >

Gerindra Tuduh Gibran Dijegal Maju Pilpres, Pakar Hukum Bantah: MK dan Cara Berpolitik Sudah Dirusak

Rumah pemilu | 4 November 2023, 07:30 WIB
Gedung Mahkamah Konstitusi. (Sumber: Kompas.com)

JAKARTA, KOMPAS.TV - Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti menepis tudingan bahwa tuntutan terhadap Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) adalah upaya penjegalan Gibran Rakabuming Raka untuk maju di Pemilu Presiden (Pilpres) 2024.

Partai Gerindra bahkan menyebut ada operasi rahasia untuk menggagalkan bakal calon wakil presiden (bacawapres) Prabowo Subianto itu maju di Pilpres 2024 dengan mendesak MKMK menyatakan bahwa putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 bermasalah.

Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Habiburrokhman memunculkan narasi "operasi rahasia" yang ingin gagalkan Gibran jadi cawapres Prabowo.

"Sepertinya ada operasi rahasia yang intinya menggagalkan Mas Gibran untuk menjadi cawapresnya Pak Prabowo dengan melibatkan berbagai elemen masyarakat," kata Habiburrokhman, dikutip dari tayangan Kompas TV, Jumat (3/11/2023).

"Saya melihat, pemetaan adanya dua kelompok masyarakat yang mengkritisi putusan MK terkait batas usia," sambungnya.

Menanggapi soal isu operasi rahasia dan penjegalan Gibran untuk maju di Pilpres 2024 sebagai cawapres Prabowo, Bivitri menegaskan bahwa desakan terhadap MKMK untuk menyatakan bahwa putusan MK pada 16 Oktober 2023 bermasalah, bukan semata karena Gibran.

"Jadi sekali lagi tujuannya bukan sekadar supaya Gibran tidak bisa menjadi cawapres, bukan itu," tegas Bivitri di program Kompas Petang, Kompas TV, Jumat (3/11/2023).

Baca Juga: Dituding Lakukan Operasi Rahasia Jegal Gibran, Pakar Hukum: Tujuan Kami Demokrasi Beradab

"Tujuannya adalah, MK-nya ini sudah dirusak, dan cara berpolitik itu sudah dirusak, dan ini yang kita harus benahi," sambungnya.

Kalaupun, kata dia, MKMK tidak mengabulkan tuntutan terkait dugaan pelanggaran etik hakim konstitusi dan menyatakan bahwa putusan MK bermasalah, ia menerangkan bahwa pihaknya akan berusaha agar peristiwa semacam ini tak terulang lagi.

"Jadi kalaupun nanti ternyata MKMK ini tidak mampu atau tidak berhasil menanggung beban sejarah untuk memperbaiki demokrasi kita, paling tidak kita akan terus-menerus mendorong supaya model berpolitik dan model memutus MK yang seperti ini tidak menjadi model yang baru," jelasnya.

"Bayangkan bahwa putusan MK itu kalau mau diluruskan lagi harus diberikan argumentasi hukum yang baik lagi, sekarang ini sudah kepalang rusak betul," tuturnya.

Dosen Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera itu khawatir peristiwa ini akan membuat orang mengajukan gugatan ke MK terkait hal yang seharusnya dikerjakan lembaga legislatif Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan lembaga eksekutif atau pemerintah.

Baca Juga: Pakar Hukum Tegaskan 3 Kejanggalan Besar dalam Putusan MK Terkait Batas Usia Capres-Cawapres

"Artinya, nanti ke depannya akan semakin banyak orang yang misalnya mengajukan batas usia apa pun ke MK yang seharusnya bukan tugasnya MK tapi ke DPR dan ke Pemerintah," jelasnya.

Ia menegaskan, tujuan para pelapor dugaan pelanggaran etik hakim MK ke MKMK adalah untuk menyatakan bahwa MK harus memeriksa ulang putusannya terkait Pasal 169 huruf q Undang-Undang No 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum (Pemilu).

Pada Senin (16/10/2023), MK mengabulkan sebagian permohonan dalam perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 yang menggugat batas usia capres dan cawapres yang diatur dalam pasal 169 huruf q UU No 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu.

MK menyatakan Pasal 169 huruf q UU Pemilu yang menyatakan 'berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun' bertentangan dengan UUD 1945, sepanjang tidak dimaknai 'berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah.

Pasal tersebut melancarkan pencalonan Wali Kota Solo/Surakarta Gibran Rakabuming Raka, yang notabene keponakan Ketua MK Anwar Usman, sebagai bakal calon wakil presiden (bacawapres) Prabowo Subianto.

Sebagai informasi, hanya 3 hakim konstitusi yang menyetujui gugatan Perkara No 90/PUU-XXI/2023, yaitu Anwar Usman (Ketua merangkap Anggota), M Guntur Hamzah (Anggota), dan Manahan MP Sitompul (Anggota).

Sementara itu, 2 orang Hakim Konstitusi memiliki pendapat berbeda (concurring opinion), yaitu Enny Nurbaningsih (Anggota) dan Daniel Yusmic P. Foekh (Anggota)

Empat Hakim Konstitusi tegas menolak atau menyatakan pendapat berbeda (dissenting opinion) atas gugatan untuk menurunkan batas usia capres-cawapres tersebut, yaitu Wahiduddin Adams (Anggota), Saldi Isra (Anggota), Arief Hidayat (Anggota), Suhartoyo (Anggota).

 

Penulis : Nadia Intan Fajarlie Editor : Vyara-Lestari

Sumber : Kompas TV


TERBARU