> >

Sidang MKMK, Buku Jimly 'Oligarki dan Totalitarianisme Baru' Dilampirkan sebagai Bukti Tambahan

Hukum | 2 November 2023, 18:29 WIB
Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) Jimly Asshiddiqie (tengah) dalam sidang perdana kasus dugaan pelanggaran kode etik oleh Ketua MK Anwar Usman, Kamis (26/10/2023). Buku Jimly berjudul 'Oligarki dan Totalitarianisme Baru' dilampirkan PBHI sebagai bukti tambahan. (Sumber: KOMPAS.com / VITORIO MANTALEAN)

JAKARTA, KOMPAS.TV - Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI)  melampirkan buku Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) Jimly Asshiddiqie yang berjudul 'Oligarki dan Totalitarianisme Baru' sebagai bukti tambahan untuk laporannya terkait dugaan pelanggaran kode etik dan perilaku hakim oleh Ketua MK Anwar Usman dan hakim-hakim MK lainnya.

Hal itu disampaikan Ketua PBHI Julius Ibrani dalam sidang pemeriksaan laporan yang digelar MKMK, Kamis (2/11/2023).

"Sebagai bukti tambahan kami merujuk pada buku yang ditulis oleh Yang Mulia Ketua MKMK hari ini Prof Jimly merujuk pada buku yang berjudul Oligarki dan Totalitarianisme Baru yang diterbitkan oleh LP3ES," kata Julius secara daring.

Dia menerangkan, dalam buku tersebut disampaikan mengenai bagaimana konflik kepentingan dan kaitannya dengan kenegarawanan dan pejabat negara.

"Bagaimana mempengaruhi tugas dan tanggung jawab pejabat negara, termasuk dalam konteks kekuasaan politik pemerintahan baik itu eksekutif, legislatif, dan juga yudikatif," tegasnya.

Julius menyinggung dugaan konflik kepentingan Anwar Usman dalam memutus perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 terkait batas usia calon presiden dan calon wakil presiden.

Baca Juga: Terungkap di Sidang MKMK, Gugatan Almas Tsaqibbirru Batas Usai Capres-Cawapres Tak Ditandatangani

"Profesor Anwar Usman kami nyatakan dengan tegas bahwa sebagai ketua MK dan hakim konstitusi yang memeriksa perkara itu memiliki konflik kepentingan karena merupakan adik ipar Presiden Joko Widodo," ucapnya.

PBHI juga menjadikan buku Jimly sebagai bahan pendukung untuk menguatkan dugaan pelanggaran kode etik empat hakim konstitusi lainnya.

Keempat hakim yang dimaksud yaitu Guntur Hamzah, Manahan Sitompul, Enny Nurbaningsih, dan Daniel Yusmic.

Menurut Julius, keempat hakim itu sepatutnya mengetahui dan tidak membiarkan adanya perbedaan sikap Anwar dalam memeriksa perkara soal batas usia capres-cawapres.

Dugaan pelanggaran kode etik mengemuka setelah MK yang diketuai Anwar Usman mengabulkan sebagian permohonan perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 terkait syarat usia calon presiden dan wakil presiden (capres-cawapres) pada Senin, 16 Oktober 2023.

Melalui putusan tersebut, MK memperbolehkan seseorang yang belum berusia 40 tahun untuk mencalonkan diri sebagai presiden atau wakil presiden asalkan memiliki pengalaman sebagai kepala daerah baik di tingkat provinsi, kabupaten atau kota.

Putusan tersebut membuka jalan bagi putra Presiden Jokowi yang juga keponakan Anwar Usman, Gibran Rakabuming Raka, yang masih berusia 36 tahun, menjadi bakal calon wakil presiden (cawapres) pada Pilpres 2024.

Gibran yang masih menjabat sebagai Wali Kota Surakarta pun kemudian dideklarasikan sebagai bakal cawapres pendamping Prabowo Subianto.

Baca Juga: Majelis Kehormatan MK Didesak untuk Segera Pecat Anwar Usman!

 

Penulis : Isnaya Helmi Editor : Edy-A.-Putra

Sumber : Kompas TV


TERBARU