> >

Komisi I dan III DPR Minta Persidangan Kabasarnas Dibawa ke Peradilan Koneksitas, KPK Berharap Sama

Hukum | 3 Agustus 2023, 10:33 WIB
Kepala Basarnas (Kabasarnas) 2021-2023 Marsekal Madya TNI Henri Alfiandi ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi proyek pengadaan barang atau jasa di Basarnas. (Sumber: Kompas.id)

JAKARTA, KOMPAS.TV - DPR mendorong persidangan kasus dugaan suap pengadaan barang dan jasa di Basarnas dilakukan dalam pengadilan koneksitas. 

Anggota Komisi I DPR RI, Mayjen TNI (Purn) TB Hasanuddin menilai persidangan koneksitas ini untuk memberi keyakinan publik bahwa setiap prajurit TNI tunduk pada hukum yang berlaku.

Menurutnya, saat kasus ini muncul dan menimbulkan keksiruhan antara KPK dan TNI, publik mengkhawatirkan adanya keadilan bagi terduga pelaku korupsi di militer tidak mendapat hukuman berat. 

Terlebih dalam kasus korupsi Helikopter AW-101 ditangani KPK dan TNI, ada lima terduga pelaku korupsi dari unsur militer tidak naik ke persidangan lantaran tidak cukup bukti. Proses penyidikan kelima terduga pelaku korupsi ini ditangani oleh Puspom TNI. 

"Saya menyarankan untuk kasus Basarnas ini karena sudah menjadi opini publik, supaya kepercayaan kepada TNI tetap tinggi maka sebaiknya ini dibawa ke peradilan koneksitas," ujar Hasanuddin di program Satu Meja the Forum KOMPAS TV, Rabu (3/8/2023).

Baca Juga: Peradilan Koneksitas Bisa Jadi Solusi dalam Kasus Dugaan Korupsi Kabasarnas, Apa Itu?

Di kesempatan yang sama Anggota Komisi III DPR Arsul Sani menyatakan pengadilan koneksitas dalam kasus suap Kabasarnas Henri Alfiandi sudah ditegaskan dalam Pasal 89 UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). 

Menuruntya tidak perlu lagi KPK mengharapkan agar persidangan yang melibatkan unsur militer dan sipil dilakukan di dua tempat. Yakni Peradilan Umum dan Peradilan Militer.

"Ketentuan hukum yang ada di KUHAP ini harus ditangani oleh koneksitas," ujar Asrul.

Lebih lanjut Asrul mengingatkan juga mengenai prinsip peradilan harus murah cepat dan sederhana. Jika nantinya dalam satu perkara yang sama ada dua persidangan maka hal ini tidak merujuk pada prinsip peradilan dalam UU 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.

"Yang kita tangkap sekarang yang sipil diproses KPK yang militer diproses di Puspom TNI yang nanti ujungnya ke Pengadilan Militer. Kalau ini terjadi itu sudah kelur dari prinsip UU Kekuasaan kehakiman," ujar Asrul.

Baca Juga: Panglima TNI Bantah Intervensi Kasus Kabasarnas: Intervensi, Kalau Saya Suruh Batalyon Geruduk KPK

Harapan KPK

Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron mengakui KPK menginginkan adanya persidangan koneksitas dalam memutus perkara suap pengadaan barang dan jasa di Basarnas. 

Ghufron menjelaskan untuk menuju pengadilan koneksitas ini KPK belum memiliki penyidik bersama seperti Jaksa Agung Muda Bidang Pidana Militer (Jampidmil) di Kejaksaan Agung.

Sebab dalam pembentukan peradilan koneksitas ini KPK belum lahir, sehingga penyidik bersama dalam Jampidmil hanya dimiliki oleh kejaksaan, sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 89 KUHAP.

"Yang penting adalah equality before the law, persamaan di hadapan hukum. Artinya kalau di bagi persidangannya itu memungkinkan berbeda, kalau disatukan (koneksitas) namanya ditangani majelis hakim yang sama itu tentu pasti penghukumannya akan lebih equality," ujar Ghufron.

Baca Juga: Soal Kasus Korupsi Kabasarnas di KPK, Mahfud MD: Peradilan Militer Lebih Steril

"Kita berharap pada koneksitas karena itu yang akan memberikan keterbukaan bagai semua pihak," pungkasnya. 

Adapun peradilan koneskitas ini pernah dilakukan Kejaksaan Agung dalam kasus korupsi proyek pengadaan satelit slot orbit 123 derajat bujur timur (BT) Kementerian Pertahanan (Kemhan) 2012-2021.

Majelis hakim koneksitas di Pengadilan Tipikor Jakarta menjatuhkan hukuman 12 tahun penjara dan denda Rp500 juta subsider tiga bulan kurungan kepada terdakwa Laksamana Muda TNI (Purn) Agus Purwoto.

Agus yang merupakan Dirjen Kekuatan Pertahanan di Kemhan itu juga mendapat hukuman tambahan berupa kewajiban membayar uang pengganti sebanyak Rp 153 miliar lebih dalam satu bulan setelah hukuman inkrah.

 

Penulis : Johannes Mangihot Editor : Iman-Firdaus

Sumber : Kompas TV


TERBARU