> >

Cerita Para Pejabat Zaman Kolonial: Pamer Harta, Pamer Istri, dan Jual Beli Jabatan

Humaniora | 27 Juni 2023, 06:30 WIB
Buku karya sejarawan Ong Hok Ham, Dari Soal Priayi sampai Nyi Blorong. (Sumber:Kompas.TV/Iman Firdaus -)

JAKARTA, KOMPAS.TV - Perilaku para pejabat yang suka pamer harta dan beristri lebih dari satu, bukan gejala baru-baru ini saja. Sejarah mencatat bahwa para priyayi atau priayi di Jawa, lazim melakukan itu.

Para priayi, dari sisi tugas, fungsi dan kedudukan, sama saja dengan para pejabat pemerintah masa kini, seperti dituliskan sejarawan Ong Hok Ham dalam bukunya, Dari Soal Priayi sampai Nyi Blorong, Refleksi Historis Nusantara (Penerbit KOMPAS, 2019).

"Kaum priayi adalah sekelompok kecil orang yang diberi jabatan atau mendapat mandat dari raja untuk membantu memerintah rakyat," tulisnya.

Ketika memasuki era kolonial, para priayi alias pejabat ini yang semula tidak mendapatkan uang bulanan, terutama setelah memasuki era tanam paksa tahun 1830, mulai mendapat gaji. Kala itu, kepada para bupati ditawarkan perjanjian untuk mengganti kepemilikan tanah dengan subsidi keuangan yang diperbesar. Para bupati itu tidak menyangka ternyata tanah akan menjadi berharga, terlebih setelah penduduk semakin padat.

Baca Juga: Atasi Macet, DPRD DKI Usul WFH Diberlakukan Lagi hingga Pejabat Ngantor Pakai Transportasi Umum

Subsidi ini membuat para bupati sangat tergantung kepada pemerintah kolonial (besarnya 300 gulden sebulan untuk bupati kecil dan 500 gulden untuk bupati besar dan berpengaruh). Tetapi mereka bisa dipecat atau dipindahkan sewaktu-waktu.

Pada 1870, ketika perkebunan kolonial diambil alih pihak swasta dan pangreh praja tidak berfungsi, gaji bupati dinaikkan menjadi 500 hingga 1.800 gulden, hampir sama dengan residen yang orang Belanda.

Karena itu, tidak heran bila gaya hidup para bupati dan pangreh praja alias pegawai pemerintah itu cenderung hedon. Bupati Madiun, misalnya, pada 1830 tercatat memiliki pasukan berkuda yang berpakaian seperti huzar Belanda abad ke-19. Semua kemewahan berupa barang-barang gaya barat diimpor dan jadi barang koleksi para priayi kala itu.

Bersamaan dengan itu, mereka juga biasa punya istri lebih dari satu. Pemerintah kolonial tidak mempermasalahkan hal itu, namun pemerintah kolonial pusing tujuh keliling bila yang dijadikan istri itu putri dari keluarga keraton: anak, cucu, atau sepupu salah seorang raja.

"Di mata Belanda, putri keraton akan memperbesar pengeluaran seorang bupati, sebab mereka biasa hidup mewah," kata Ong Hok Ham.

Namun rupanya, gaji yang diterima para priayi itu tidak selalu mencukupi, semata-mata karena gaya hidup mereka yang boros. Mereka berlagak seperti sultan kecil dengan pegawai berkuda berseragam sulam emas, perangkat gamelan, para penari, dan kediaman besar.

"Belum termasuk jamuan untuk para pembesar Belanda, kapitan Cina, Arab, selamatan ini-itu seperti Gerebek Ramadan dan lain-lain," kata Ong. 

Nah, untuk menutupi kekurangan biaya dari gaya hidup yang sangat mewah itu, mau tidak mau harus jual beli jabatan. Ong Hok Ham mencatat, rupanya setelah perusahaan dagang Hindia Belanda (VOC) bangkrut karena dililit korupsi, mereka juga jadi terbiasa jual beli jabatan. Jual beli jabatan itu terjadi untuk mencoba menutup kerugian yang selama ini diderita.

Baca Juga: Sederet Pejabat yang Dicopot karena Pamer Harta | POP NEWS

"Jual beli jabatan ini, yang dalam bahasa Inggris disebut venality of office (memperoleh jabatan karena korupsi), membuat seorang pejabat harus korupsi untuk mengganti uang yang digunakan untuk membeli jabatan. Raja-raja Jawa sendiri juga menjual jabatan pada zaman yang sama. Jual beli jabatan ini agaknya merupakan sesuatu yang agak umum pada waktu itu dalam aparatur tradisional," kata Ong.                     

 

 

Penulis : Iman Firdaus Editor : Vyara-Lestari

Sumber : Kompas TV


TERBARU