Hasil Pemeriksaan Lie Detector Disebut Tidak Bisa Jadi Alat Bukti di Pengadilan, kecuali...
Hukum | 7 September 2022, 05:05 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV – Hasil pemeriksaan menggunakan pendeteksi kebohongan atau lie detector biasanya tidak bisa digunakan sebagai alat bukti di pengadilan, kecuali dibacakan oleh saksi ahli. Hal itu diungkap oleh mantan Kepala Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri Komjen Pol (Purn) Ito Sumardi.
Ia menjelaskan, jika mengacu pada Pasal 184 ayat 1 KUHAP, alat bukti yang sah dalam perkara adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat petunjuk, dan keterangan terdakwa.
Sedangkan hasil dari pemeriksaan menggunakan alat pendeteksi kebohongan biasanya tidak bisa dijadikan alat bukti.
“Hasil dari lie detector biasanya tidak diakui sebagai alat bukti,” jelasnya dalam dialog Kompas Malam, Kompas TV, Selasa (6/9/2022).
Baca Juga: Selain Tak Ada Perlawanan dari Putri, LPSK Ungkap Sejumlah Kejanggalan Lain dari Dugaan Pelecehan PC
“Kecuali apabila hasil lie detector itu dibacakan oleh ahlinya, seorang psikolog di depan pengadilan, ini bisa dijadikan alat bukti,” imbuhnya.
Ito menyebut, orang berhak untuk menolak pemeriksaan menggunakan alat pendeteksi kebohongan. Sebab, itu diatur dalam undang-undang.
Namun, penggunaan lie detector juga ada dasar hukumnya, yakni Sprin Kapolri Nomor 295 tahun 1993.
“Jadi, saya kira penggunaannya juga ada dasar hukumnya. Digunakan di pengadilan juga bisa menjadi alat bukti kalau hasil analisanya dibacakan oleh ahlinya,” tekannya.
Sementara, mantan hakim agung Gayus Lumbuun mengatakan, penggunaan lie detector hanya untuk meyakinkan para pihak saja.
Mengenai apakah nantinya hasil dari pemeriksaan lie detector dapat digunakan di pengadilan, ia menyebut, tidak selalu bisa.
Baca Juga: Soal Lie Detector, Pakar Hukum: Benar atau Tidak, Bisa Dibandingkan dengan Keterangan Saksi Lain
“Belum tentu juga kalau ada bukti yang sifatnya elektronik bernama lie detector diakui, nggak selalu. Ini kan membantu saja,” tuturnya.
Di pengadilan, lanjut dia, yang digunakan adalah bukti materiel. Bukti materiel bukan dengan cara memaksa atau dengan cara alat-alat semacam itu.
“Bukti materiil itu harus terjadi, bukan diduga. Kalau alat kan menafsirkan. Dengan alat ini sekian persen benar atau salah,” pungkasnya.
Penulis : Kurniawan Eka Mulyana Editor : Vyara-Lestari
Sumber : Kompas TV