> >

Kisah Sedih Pangeran Diponegoro di Pengasingan, Dipisahkan dari Keluarga dan Ditinggal Mati Anaknya

Sosok | 7 September 2022, 06:30 WIB
Lukisan Penangkapan Pangeran Diponegoro. (Sumber: twitter kraton Jogja-)

JAKARTA, KOMPAS.TV - Setelah perang Jawa berakhir pada 1830, Pangeran Diponegoro sebagai pimpinan perang ditangkap, kemudian diasingkan ke Manado di Sulawesi Utara, di Benteng Fort Nieuw Amsterdam. Sang Pangeran diasingkan bersama sebagian anggota keluarga dan para pengikutnya yang setia.

Namun karena beberapa pertimbangan, di antaranya cuaca yang dinilai terlalu dingin, Diponegero kemudian dipindahkan ke Makassar, Sulawesi Selatan, ke Benteng Fort Rotterdam, benteng besar buatan Admiral Speelman (1628-1684).

Perjalanan pemindahan Diponegoro disusun sangat rapih dan penuh rahasia. Peter Carey dalam bukunya "Takdir, Riwayat Pangeran Diponegoro (1785-1855)" yang diterbitkan KOMPAS menyebut pemindahan tahanan dan keluarganya ini sebagai perjalanan yang menyiksa, yang berlangsung selama 21 hari, antara 20 Juni hingga 11 Juli 1833.

Baca Juga: Kisah Karya Raden Saleh Penangkapan Pangeran Diponegoro, Target Curian di Film, Sempat Tak Terawat

"Inilah sebuah perjalanan rahasia yang terasa makin pedih karena nama kapal sekunar Angkatan Laut Belanda, Circe, nama seorang dewi Yunani berlidah perak dalam epos homerus, yang dapat mengubah manusia menjadi hewan," tulis Carey. Ada puluhan orang yang dipindahkan, termasuk istri, kedua anak Pangeran Diponegoro, dan 23 pengikutnya.  

Di Makassar, Pangeran Diponegoro dan seluruh rombongan dijaga lebih ketat. Mereka tidak diizinkan berkeliaran di luar tembok benteng. Diponegoro dan keluarganya ditahan di ruangan perwira yang dekat dengan pos jaga utama, dengan pemandangan dari lotengnya mengarah ke Teluk Makassar.

Sebagai tahanan negara (staatsgevangene), Diponegoro tidak diizinkan untuk menulis surat, namun diperbolehkan menulis untuk kesenangan sendiri, misalnya menulis naskah-naskah Jawa yang dia salin.

Namun, akibat kondisi di pengasingan itu, sang pangeran mulai mempersiapkan kematian dirinya dengan apa yang disebut dalam tradisi mistik Syatariah dengan istilah Plawanganing pati (membuka pintu gerbang kematian). 

Pada akhir 1848, ia meminta pada Gubernur agar diizinkan bertemu dengan dua putranya yang diasingkan ke Ambon, yaitu Pangeran Dipokusumo dan Raden Mas Raib. Pada saat yang sama, dia juga mencemaskan anak tertuanya, Pangeran Diponegoro II yang berada di pengasingan di Sumenep, Madura.

Namun, pemerintah kolonial Belanda tidak meloloskan keinginan sang pangeran untuk bertemu dengan anak-anaknya. Hal itu karena Belanda masih khawatir pengaruh Diponegoro yang masih kuat. "Mereka (Belanda, red) barangkali malah ingin agar Diponegoro tidak sampai tahu tentang tragedi yang menimpa keluarganya, termasuk kematian putranya nomor dua termuda, Raden Mas Joned, karena berselisih dan berkelahi dengan perwira Belanda di Yogya pada April 1837."

Di tengah kesedihan dan hari-hari menjelang ajal tersebut, Diponegoro tiba-tiba mendapat surat dari ibunya,  Raden Ayu Mangkorowati. Kedatangan surat itu membuat Diponegoro sangat gembira, sebab sudah lama mereka terpisah. 

Baca Juga: 5 Fakta Film Mencuri Raden Saleh, Aksi Angga Yunanda Curi Lukisan Pangeran Diponegoro

Bahkan kepada Gubenur Celebes de Perez, ia mengatakan bahwa kerinduan terbesarnya adalah melewatkan hari-hari bersama sang ibu yang sudah renta, 80 tahun. Namun, kerinduan anak dan ibu itu tak terlunasi. 

Sang ibu meninggal pada 7 Oktober 1852, dan tiga tahun kemudian, Diponegoro menyusul, tepatnya pada 8 Januari 1855.

Dalam korespondensi terakhirnya, Diponegoro menuliskan kepada ibunya  akan selalu menaiki tangga loteng untuk melihat ke pelabuhan, menanti kapal uap yang rutin bersandar di Teluk Makassar, menanti kedatangan sang ibu. 

Sementara sang ibu menuliskan bahwa kebahagiaan terbesarnya adalah mereka berdua diberi kesehatan dan kewarasan (wilujeng) hingga akhirnya nanti bertemu kembali di akhirat.

  

 


 

Penulis : Iman Firdaus Editor : Vyara-Lestari

Sumber : Kompas TV


TERBARU