> >

Apa Itu Justice Collaborator, Peran Kunci yang Siap Diajukan Kuasa Hukum Bharada E untuk Kliennya

Hukum | 7 Agustus 2022, 10:19 WIB
Bharada E disebut siap menjadi justice collaborator dalam kasus penembakan Brigadir J. (Sumber: TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN)

JAKARTA, KOMPAS.TV - Pengacara baru  Bharada E atau Richard Eliezer, Deolipa Yumara dan tim mengatakan kliennya siap menjadi justice collaborator dalam kasus kematian Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat alias Brigadir J.

Diketahui, Bharada E ditetapkan sebagai tersangka kasus penembakan Brigadir J dengan dijerat Pasal 338 juncto Pasal 55 dan 56 KUHP soal pembunuhan dengan sengaja.

Menurut Deolipa, Bharada E merupakan saksi kunci untuk menguak kebenaran dibalik kematian Brigadir J.

Oleh karena itu, Deolipa mengatakan, Bharada E siap menjadi justice collaborator.

Deolipa juga akan segera mengajukan permohonan perlindungan saksi untuk Bharada E kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).

Baca Juga: Kabareskrim Sebut Adanya Barang Bukti yang Dihilangkan Jadi Kendala Pengusutan Kasus Brigadir J

"Dia (Bharada E -red) akan kami anggap sebagai saksi kunci, tentunya kami akan segera mengajak Bharada E atau kami akan mengajukan permohonan melalui formulir kepada LPSK supaya yang bersangkutan dilindungi," ujar Deolipa dalam tayangan Breaking News di Kompas TV, Sabtu (6/8/2022).

Lantas, apa itu justice collaborator dan bagaimana perannya dalam menyibak tabir gelap tindak pidana?

Pengertian Justice Collaborator

Kriminolog, Ahmad Sofian mengatakan justice collaborator adalah saksi kunci untuk menguak tindak pidana tertentu yang sulit diungkap oleh penegak hukum. 

"Justice collaborator diartikan sebagai saksi pelaku suatu tindak pidana yang bersedia membantu atau bekerjasama dengan  penegak hukum," tulis Ahmad Sofian dalam laman resmi Business Law Universitas Bina Nusantara.

Dalam ketentuannya, justice collaborator bisa disandang oleh saksi sekaligus tersangka yang harus memberikan keterangan dalam persidangan.

Baca Juga: Detik-Detik Ferdy Sambo Dikirim ke Mako Brimob, Diperiksa Soal Pelanggaran Etik Kematian Brigadir J

Selanjutnya dari keterangan tersebut dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan.

Justice collaborator pertama kali diperkenalkan di Amerika Serikat (AS) sekitar tahun 1970-an. 

Ini merupakan salah satu norma hukum di AS saat itu dengan alasan perilaku mafia yang selalu tutup mulut atau dikenal dengan istilah omerta sumpah tutup mulut. 

Oleh sebab itu, bagi mafia yang mau memberikan informasi, diberikanlah fasilitas justice collaborator berupa perlindungan hukum. 

Peran Justice Collaborator

Ahmad menjelaskan, ada sejumlah peran yang dimiliki oleh justice collaborator, antara lain:

  • Untuk mengungkap suatu tindak pidana atau akan terjadinya suatu tindak pidana, sehingga pengembalian asset dari hasil suatu tindak pidana bisa dicapai kepada negara;
  • Memberikan informasi kepada aparat penegak hukum; dan
  • Memberikan kesaksian di dalam proses peradilan.

Adapun justice collaborator diatur dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Undang-undang Nomor 31 tahun 2014 (perubahan atas UU Nomor 13 tahun 2006) tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

Baca Juga: Kronologi Ferdy Sambo Dibawa ke Tempat Khusus, Ada Personel Brimob Bersenjata Sambangi Bareskrim

Selain itu, justice collaborator juga diatur dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 04 tahun 2011, Peraturan Bersama Menteri Hukum dan HAM, Jaksa Agung, Kapolri, KPK, dan LPSK tentang Perlindungan Bagi Pelapor, Saksi Pelapor, dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama.

"Sumber hukum yang disebutkan di atas masih belum memberikan pengaturan yang proporsional, sehingga keberadaan justice collaborator bisa direspon secara berbeda oleh penegak hukum," ujar Ahmad.

Norma Justice Collaborator

Ahmad menyebut, justice collaborator akan mendapat perlindungan dan perlakuan khusus meski terlibat dalam tindak pidana tertentu.

Hal itu diatur dalam No. 31 Tahun 2014 khususnya pada Pasal 10 Undang-undang No. 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 rumusan normanya adalah sebagai berikut:

  1. Saksi, Korban dan Saksi Pelaku dan atau Pelaporan tidak dapat dituntut secara hukum, baik pidana maupun perdata atas kesaksian dan atau laporan yang akan, sedang atau telah diberikannya, kecuali kesaksian atau laporan tersebut diberikan tidak dengan iktikad baik.
  2. Dalam hal terdapat tuntutan hukum terhadap Saksi, Korban, Saksi Pelaku, dan atau Pelapor atas kesaksian dan atau laporan yang akan, sedang atau telah diberikan, tuntutan hukum tersebut wajib ditunda hingga kasus yang ia laporkan atau ia berikan  kesaksianntelah diputus oleh pengadilan dan memperoleh kekuatan hukum tetap.

Kemudian dalam dalam Pasal 10 (A)

  1. Saksi Pelaku dapat diberikan penanganan secara khusus dalam proses pemeriksaan dan penghargaan atas kesaksian yang diberikan.
  2. Penanganan secara khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
  • Pemisahan tempat penahanan atau tempat menjalani pidana antara Saksi Pelaku dengan tersangka, terdakwa, dan/atau narapaidana yang diungkap tindak pidananya;
  • Pemisahan pemeriksaan antara berkas Saksi Pelaku dengan berkas tersangka dan terdakwa dalam proses penyidikan, dan penuntutan atas tindak pidana yang diungkapkannya dan/atau:
  • Memberikan kesaksian di depan persidangan tanpa berhadapan langsung dengan terdakwa yang diungkap tindak pidananya.

Baca Juga: Bharada Eliezer Didampingi 2 Kuasa Hukum Baru di Kasus Brigadir Yoshua

Penghargaan atas kesaksian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa :

  • Keringanan penjatuhan pidana; atau
  • Pembebasan bersyarat, remisi tambahan, dan hak narapidana lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan bagi Saksi Pelaku yang berstatus narapidana.

Untuk memperoleh penghargaan berupa keringanan penjatuhan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, LPSK memberikan rekomendasi secara tertulis kepada penuntut umum untuk dimuat dalam tuntututannya kepada hakim. 

Sementara itu, untuk memperoleh penghargaan berupa pembebasan  bersyarat, remisi tambahan, dan hak narapidana lain sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b, LPSK memberikan rekomendasi secara tertulis kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum.

Penulis : Dian Nita Editor : Gading-Persada

Sumber : Kompas TV, Universitas Binus


TERBARU