Kisah Borobudur: Polemik Tiket Masuk, Kematian Brandes dan Pemugaran yang Dinilai Terlalu Berani
Peristiwa | 6 Juni 2022, 06:44 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV- Harga tiket masuk ke Candi Borobudur membuat sebagian masyarakat geleng-geleng kepala, setelah Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan membanderol seharga Rp 750 ribu untuk wisatawan domestik dan 100 dollar AS untuk turis asing.
Namun, Luhut buru-buru merespons bahwa harga bisa diturunkan. "Saya mendengar banyak sekali masukan masyarakat hari ini terkait dengan wacana kenaikan tarif untuk turis lokal. Karena itu nanti saya akan minta pihak-pihak terkait untuk segera mengkaji lagi supaya tarif itu bisa diturunkan," kata Luhut, Minggu (5/6/2022).
Di balik urusan tiket masuk, Candi Borobudur sebenarnya menyimpan berbagai kisah yang menarik untuk disimak. Bukan saja soal reliefnya, tapi juga kisah-kisah pemugaran dan penemuannya yang juga layak dijadikan pelajaran.
Hingga pertengahan abad ke-19, Candi ini kurang mendapat perhatian dari pemerintah kolonial kala itu. Kalau pun ada yang memberi perhatian, terbatas hanya sekadar kesenangan belaka. Hal itu tertulis dalam buku "Candi Borobudur" (1976) karya Soekmono, seorang ahli purbakala dari Universitas Indonesia (UI) yang juga Kepala Proyek Pelita Pemugaran Candi Borobudur.
Baca Juga: Heboh Tarif Naik Candi Borobudur Rp750 Ribu, Luhut Tegaskan Belum Final dan Masih Dapat Turun
Baru pada tahun 1849 perhatian dari pemerintah kolonial mulai serius. Sudah ada orang-orang yang ditugaskan untuk meneliti relief juga ada yang diberi tugas untuk memberi uraian panjang mengenai bangunannya.
Setelah berbagai penemuan dan pandangan para ahli, baru pada 1890 pemerintah kolonial membentuk Panitia Khusus yang tugas utamanya mencari cara agar bangunan megah itu tidak rusak ditelan zaman. Kala itu ditunjuk tiga orang yang sangat berkompeten di bidangnya.
"Ketuanya adalah Brandes, seorang ahli sejarah kesenian yang sangat cerdas. Kedua anggotanya adalah Van Erp, seorang perwira zeni tentara, dan Van de Kramer, seorang insinyur dari Departemen Pekerjaan Umum," tulis Soekmono.
Van de Kramer dikenal sebagai tokoh yang mengusulkan pembuatan kubah di atas Borobudur untuk melindungi dari hujan dan panas. Namun usul ini ditolak, selain mahal juga karena tidak elok dilihat.
Setelah bertahun-tahun membahas rencana berikut anggaran yang diajukan, pada 1904 Brandes meninggal dunia secara mendadak. Setahun kemudian, barulah pemerintah menyetujui usul pemugaran. Ketua Panitia kini dipegang oleh Van Erp.
Setelah tujuh bulan pemugaran, hasil mulai tampak. Ternyata banyak hal yang mulai terkuak, mulai dari luas candi hingga berbagai artefak yang ditemukan. Maka Van Erp pun mengajukan usul tambahan anggaran hingga mencapai 34.600 Gulden.
Pekerjaan Van Erp selesai pada 1911. Hasilnya terbilang mengagumkan. "Dan apa yang sekarang terjelma dari runtuhan-runtuhan, menimbulkan rasa kagum ada siapapun juga," tulis Soekmono.
Itulah hasil karya awal Van Erp yang bisa disaksikan secara lengkap hingga sekarang. Meski pun, kata Soekmono, pekerjaan Erp kala itu banyak dikritik sebagian ahli. Salah satunya, terlalu berani dalam memugar hingga membuat bangunan candi melesak dan dinding candi miring.
Baca Juga: Ini Tanggapan Masyarakat Soal Naiknya Harga Tiket Naik ke Candi Borobudur jadi Rp750 Ribu
Mesmi begitu, Van Erp sebenarnya hanya menunaikan tugasnya sebaik dan secermat mungkin dengan mempertimbangkan aspek teknis dan estetis. Misalnya, dari sisa yang tersedia, dia berhasil membuat rekonstruksi pucuk stupa berikut ketiga susunan payungnya.
Van Erp bukan tak tahu bahwa candi mulai miring. Namun dia merekomendasikan agar setiap tahun diadakan pengecekan dan perawatan semestinya. Atas hasil pekerjaannya, Van Erp kemudian mengajukan anggaran lagi sebesar 10 ribu Gulden, khusus untuk membuat dokumentasi foto dari semua pekerjaan pemugaran termasuk mendokumentasikan semua relief yang ada.
Penulis : Iman-Firdaus
Sumber : Kompas TV