Kisah Umar Gani, Warga Terakhir yang Jumpa Bung Karno dan Pemain Tonil Tersisa Bikinan Bung Besar
Peristiwa | 1 Juni 2022, 10:34 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV – Umar Gani adalah warga Ende yang menjadi saksi bagaimana kisah hidup Bung Karno selama berada di Ende, Nusa Tenggara Timur. Ia juga sekaligus pemain tonil atau drama yang dibikin oleh beliau.
Bung Karno diasingkan oleh Belanda sejak tahun 1934-1938 di Kota Ende, Kabupaten Ende, Nusa Tenggara karena aktivitas politiknya saat itu.
Saat Bung Karno datang ke Ende, Umar Gani waktu itu berusia 17 tahun. Ia pun tertarik dan diajak mengikuti beliau dan bermain dalam sandiwara drama yang dbikin Bung Karno.
Umar Gani mengisahkan peristiwa ini pada tahun 2011 berusia 96 tahun. Kisah Umar Gani sebagai penyaksi terakhir Bung Karno di tanah Ende ini dikisahkan Ekspedisi Laporan Jurnalistik NTT: Laporan Jurnalistik Kompas (2011).
“Banyak saksi mata sudah tiada. Dari 47 anggota Grup Tonil Kelimoetoe yang dibentuk Bung Karno, tinggal satu orang tersisa, yaitu Umar Gani,” tulis buku itu di halaman. 94.
Umar Gani pun mengisahkan cerita bagaimana Bung Besar, julukan Bung Karno, hidup dan merumuskan falsafah hidupnya tentang negara ini bernama Pancasila. Falsafah negara Indonesia yang diperingati tiap hari ini 1 Juni.
Dia menuturkan, rumusan tentang Pancasila, terutama prinsip ketuhanan dan keadilan sosial berkembang selama di Ende.
“Bung Karno terkesan pada kerukunan hidup antarumat beragama di Ende saat itu,” kenang Umar Gani.
Selama di Ende, Bung Karno juga dekat dengan beberapa tokoh agama, seperti tiga pastor Katolik yang ada di daerah sana.
Tiga pastor itu adalah Peter Youhanes Bouma, pastor Paroki Katedral Ende Peter Huyjink, serta bruder Condradus W Thuis.
Nama terakhir ini pula yang mempersilakan Bung Karno menggunakan mengunakan gedungnya untuk pertunjukan tonil yang dibikin Bung Karno.
Baca Juga: Kisah 15 Mei Tahun 1962, Bung Karno Selamat dari Pembunuhan ketika Salat
Anggota Tonil Terakhir Bung Karno yang Tersisa
Dalam Arsip Kompas yang ditulis Samuel Oktora pada 14 Desember 2010, rumah Umar Gani waktu didatangi tim Ekspedisi Jejak Peradaban NTT Kompas sedang dipenuhi oleh banyak sanak keluarga.
Umar Gani pun mengenakan sarung dan kopiah melangkah pelan menuju ruang tamu ditopang tongkat kayu di tangan kanannya. Kediamannya di Kelurahan Paupanda, Kecamatan Ende Selatan, Kecamatan Ende.
Ny Nur Laela (52), seorang menantunya, membantu dengan memegangi tangan kirinya. Menurut Ny Nur, ketika disampaikan ada wartawan yang mau wawancara seputar Bung Karno, Umar langsung antusias dan lupa akan kelemahan tubuhnya.
Umar minta digantikan baju dengan kaus yang ”berbau” Bung Karno, kaus merah berkerah, kenang-kenangan dari Yayasan Bung Karno.
”Maaf, saya kurang dengar Nak, maklum sudah tua,” kata bapak dari 5 anak dan 23 cucu itu sembari duduk di kursi plastik, saat memulai pembicaraan. Untuk berbicara dengan Umar, suara harus dikeraskan.
Sejumlah kata atau topik pembicaraan pun harus diulang-ulang untuk merangsang daya ingatnya.
Waktu Bung Karno tiba di Ende, Umar berusia 17 tahun. Grup Tonil Kelimoetoe yang dibentuk Bung Karno mulai pentas tahun 1936.
Umar masih ingat benar jumlah anggota tonil ada 47 orang, dan yang biasa pentas di gedung Paroki Imakulata, Ende, sekitar 10 orang.
Selain Umar, semua anggota tonil Kelimoetoe kini telah tiada.
Baca Juga: Cerita Mistis Penjaga Serambi Bung Karno di Ende, Kalau Malam Hari Serasa Ada yang Duduk
Bung Karno dan Inggit
Umar mengenang, yang mengarang naskah cerita dan menyutradarai adalah Bung Karno. Bahkan, yang membuat layar atau dekorasi panggung, termasuk kostum lakon sandiwara, juga Bung Karno dibantu istrinya, Inggit Garnasih, serta anaknya, Ratna Djoeami.
Menurut Umar, selama dibuang di Ende, Bung Karno membuat 12 naskah tonil. Semuanya bernapaskan revolusi menuju kemerdekaan Indonesia.
Judul naskah itu antara lain Rahasia Kelimoetoe, Rendo, Jula Gubi, KutKutbi, Anak Haram Jadah, Maha Iblis, Aero Dinamit, Dr Setan, Nggera Ende, Amuk atau Nggera Ende II, Sanghai Rumba, dan Indonesia’ 45.
Umar ikut bermain dalam sandiwara berjudul Rahasia Kelimoetoe dan Rendo.
Ia pun mengisahkan, Bung Karno juga sering duduk di sebuah batu di bawah pohon sukun, yang terletak di Lapangan Perse (sekarang Lapangan Pancasila).
Di bawah pohon sukun itu, Bung Karno banyak merenung. Konon di situ pula Bung Karno mendapatkan inspirasi tentang Pancasila yang kini menjadi dasar negara.
”Bung Karno suka duduk menghadap ke pantai, biasanya sehabis shalat subuh atau saat bulan terang. Beliau keluar rumah untuk jalan-jalan ke pantai, lalu duduk-duduk di bawah pohon sukun itu,” ujar Umar.
Penulis : Dedik Priyanto Editor : Desy-Afrianti
Sumber : Kompas TV