RUU TPKS Disahkan, Jaringan Pembela Perempuan Minta Pemerintah Terbitkan PP dan Perpres
Peristiwa | 12 April 2022, 20:18 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV- Jaringan Pembela Hak Perempuan Korban Kekerasan Seksual (JPHPKKS) meminta pemerintah segera menindaklanjuti UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual dengan mengeluarkan peraturan pemerintah (PP) dan peraturan presiden (perpres) sebagai peraturan pelaksana UU tersebut.
Jaringan yang terdiri atas pegiat isu perempuan, advokat, jurnalis, pendamping korban, akademisi, dan peneliti ini bersuka cita dan mengapresiasi kerja keras pemerintah dan DPR yang telah mengesahkan RUU TPKS menjadi UU dalam sidang paripurna DPR, Selasa (12/4/2022).
“Akhirnya masyarakat Indonesia, khususnya perempuan, anak, dan kelompok disabilitas kini memiliki payung hukum yang memberikan perlindungan dari incaran kekerasan seksual,” ujar Ratna Batara Munti, Bidang Advokasi Kebijakan Asosiasi LBH APIK Indonesia sekaligus Direktur LBH APIK Jabar, dalam siaran pers JPHPKKS, Selasa (12/4/2022).
Selain mendorong pemerintah menerbitkan PP dan perpres, JPHPKKS juga menyampaikan beberapa catatan sebagai berikut.
Baca Juga: Tok! DPR Sahkan RUU TPKS Jadi Undang-undang
Pertama, secara substansi terdapat enam elemen kunci yang dimandatkan dalam UU ini, yaitu pemidanaan, pencegahan, pemulihan, tindak pidana, pemantauan, dan hukum acara.
Substansi tindak pidana yang diatur dalam UU TPKS adalah adanya sembilan bentuk kekerasan seksual yaitu pelecehan seksual fisik, pelecehan seksual non fisik, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan sterilisasi, penyiksaan seksual, pemaksaan perkawinan, perbudakan seksual, kekerasan seksual dengan saran elektonik, dan eksploitasi seksual.
“Sayangnya, dua usulan JPHPKKS yakni pemaksaan aborsi dan perkosaan tidak masuk dalam UU,” ucapnya.
Perkosaan diatur di dalam pasal jembatan, yang akan diatur secara lebih detail di RKUHP. Padahal, kasus perkosaan dengan korban perempuan dan anak sebagaimana kita ketahui terus berulang terjadi.
“Korban perkosaan dapat menggunakan hukum acara UU TPKS jika dalam RUU RKUHP juga diatur pasal jembatannya,” tuturnya.
Kedua, terkait hukum acara, UU secara progresif mengatur restitusi (ganti rugi) yang merupakan hak korban, dengan sita restitusi dapat dilakukan sejak penyidikan.
Jika pelaku tidak mampu, maka restitusi akan dibayarkan oleh negara melalui victim trust fund (dana bantuan korban) yang akan dikelola oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban.
Menurut Ratna, selama ini korban kekerasan seksual kerap terabaikan dan tidak ada kehadiran negara dalam penanganan kasusnya.
“Dengan adanya restitusi, negara hadir dan korban mendapatkan haknya. Pencegahan juga diatur cukup komprehensif di mana ada peran serta masyarakat dan keluarga,” ucapnya.
Ketiga, layanan terpadu untuk penanganan dan pemulihan korban juga menjadi salah satu nyawa UU ini.
Baca Juga: Pengesahan RUU TPKS, Puan: Ini Momen Bersejarah
Pendamping berbasis komunitas juga dieksplisitkan. Pemberatan pidana juga diatur, bagi pejabat negara, tenaga medis, tenaga pendidik, pemuka agama, keluarga diperberat sepertiga. Bagi pelaku korporasi, juga ada pencabutan ijin usaha, pembekuan seluruh atau sebagian kegiatan korporasi,” ujarnya.
Penulis : Switzy Sabandar Editor : Iman-Firdaus
Sumber : Kompas TV